Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, mengatakan pihaknya akan mendalami persoalan harga beras premium yang langka dan mahal di ritel modern pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Kenapa harga beras premium naik? ya soal supply dan demand, tadi sebagian besar beberapa pak kok setelah pemilu barang-barang naik ya? nanti kenapa? kita akan cari," kata Mendag saat melakukan kunjungan ke Ritel modern untuk meninjau pasokan beras ke Transmart Kota Kasablanka, Senin (19/2/2024).
Baca Juga
Mendag menyebut alasan beras premium di ritel modern mengalami kenaikan. Lantaran, harga beras premium yang dijual produsen ke ritel modern sudah mahal, sehingga ada sebagian ritel modern yang tetap dan tidak membeli beras dari produsen tersebut
Advertisement
"Saya ngecek beras, di pasar ritel modern memang supplier untuk premium harganya sudah naik. Jadi, sebagian ritel modern tidak ambil karena belinya sudah di atas HET dan ada sebagian ritel tetap ambil jualnya diatas HET gitu," ujarnya.
Dampak El Nino
Disisi lain, kata Mendag penyebab lain harga beras premium secara nasional mengalami kenaikan juga dipengaruhi dampak El Nino, yang membuat masa panen raya mundur sehingga permintaan meningkat namun stok terbatas.
"Tentu juga karena EL Nino kan panen kita mundur dan supply kita berkurang," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kelangkaan dan mahalnya harga beras Premium di ritel modern, Pemerintah terus menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dari Bulog, dengan harga yang lebih murah yakni dikisaran Rp 54.000 per 5 kg.
"Pemerintah mengambil solusi mempercepat beras SPHP dari bulog, itu harganya tentu harga subsidi dijualnya 5 kilo itu Rp 54.000 sudah ada untung di dalam itu," pungkasnya.
Beras Langka dan Mahal Ternyata Bukan Ulah Mafia, Tapi Gara-Gara Ini
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyoroti ketentuan harga eceran tertinggi (HET) beras sebagai dalang dibalik beras langka dan mengalami kenaikan harga. Bukan karena mafia yang belum ada bukti jelasnya, ia lebih melihat HET sebagai faktor utama yang membuat perdagangan beras saat ini bermasalah.
Menurut catatannya, harga gabah kering panen di Jawa Timur saat ini sudah berada di angka Rp 8.400-8.700 per kg. Sementara untuk jadi produk beras harganya berada di kisaran Rp 15.750-16.600 per kg, dengan proses penggilingan dari padi menjadi beras (rendemen) 53 persen.
Sementara pemerintah mengatur HET beras untuk zona 1 (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi) di angka Rp 10.900 untuk beras medium, dan Rp 13.900 untuk beras premium.
"Di Jalur Sumsel, harga gabah kering panen hari-hari ini Rp 7.500 per kg. Untuk jadi beras sudah di harga Rp 14.200 per kg. Sementara HET beras premium jauh di bawah itu, Rp 13.900 per kg. Ini yang membuat pedagang beras dan penggilingan padi menjerit," jelas Khudori kepada Liputan6.com, Senin (19/2/2024).Oleh karenanya, ia mengatakan, pedagang dan penggilingan padi tidak lagi memasok ke ritel-ritel modern karena merugi. Sebab pengelola supermarket tidak berani melanggar HET.
Jika pedagang dan penggilingan tetap ingin menjual produknya di ritel atau pasar modern, rata-rata pengelola ritel meminta harga di bawah HET Rp 13.900 per kg agar tidak merugi.
"Kalau peritel modern ambil untung Rp 200 per kg, berarti terima dari pedagang atau penggilingan Rp 13.700 per kg. Jika untung peritel lebih gede dari itu, harga dari pedagang atau penggilingan lebih rendah lagi. Alias kerugian pedagang/penggilingan lebih besar lagi," kata Khudori.
Â
Advertisement
Beras di Pasar
Ketimbang merugi, sambungnya, pedagang dan penggilingan saat ini lebih banyak menjual beras di pasar tradisional. "Karena itu, kalau diperiksa di pasar tradisional sepertinya tidak ada masalah pasokan. Juga tidak ada pembatasan pembelian seperti di pasar modern. Karena di pasar tradisional sejak ada HET, beleid itu tak pernah dipatuhi," ungkapnya.
Khudori lantas mendesak Badan Pangan Nasional untuk menimbang ulang kebijakan HET beras yang sudah berlaku sejak September 2017. Tak hanya dari sisi hilir, tapi juga termasuk dampaknya terhadap industri perberasan secara keseluruhan.
"Dalam waktu yang sama, tidak ada salahnya buat Badan Pangan Nasional untuk menghitung ulang biaya produksi padi. Jangan-jangan harga gabah yang tinggi dan terus naik itu lantaran struktur ongkos produksi memang sudah berubah," pinta dia.