Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, industri minuman masih banyak bergantung kepada bahan baku impor. Seiring hal itu, Kemenperin pun berupaya agar industri minuman memakai bahan baku lokal.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kemenperin, Merrijantij Punguan Pintaria mengatakan, saat ini, sektor industri minuman masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku asal impor.
Baca Juga
Namun, dia tidak mengungkap secara detail berapa angka ketergantungan industri minuman terhadap bahan baku asal impor.
Advertisement
"Industri minuman ini masih banyak bergantung kepada bahan baku impor," ujar Merrijantij dalam acara konferensi pers Kinerja Industri Minuman 2023 dan Tantangan 2024 di Hotel Mercure, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Padahal, pemerintah telah menetapkan aturan terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 35 persen di berbagai sektor industri. Khusus industri minuman, Kemenperin menargetkan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bahan baku menjadi 25 persen.
"Ini kami berupaya keras bagaimana bahan baku ini bisa dipenuhi dari dalam negeri di industri minuman," tutur dia.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo menuturkan, tingginya ketergantungan penggunaan bahan baku impor lantaran harga yang lebih murah dibandingkan produk lokal. Salah satunya gula atau pemanis buatan.
"Sebagian besar bahan-bahan yang kita pakai itu memang sudah sudah lokal, tapi memang ada bahan-bahan yang memang perlu diimpor, salah satunya misalnya ada gula yang lebih murah," kata dia.
Kendala Lain
Selain itu, pasokan bahan baku lokal juga masih belum siap untuk menunjang produksi industri minuman. Misalnya ketersediaan buah-buahan asal domestik untuk minuman jus dalam kemasan.
"Seperti mangga itu enggak selalu ada. Sedangkan produksi kita kan selama 12 bulan penuh," tutur dia.
Kendala lainnya yang dialami oleh oleh pelaku industri minuman adalah keterbatasan kemasan jenis aluminium. Sehingga, pelaku industri masih membutuhkan kemasan asal luar negeri.
"Terkait dengan aluminium ataupun plastik, itu ada ada hal-hal yang memang perlu diimpor, memang dari upaya kami terus berusaha untuk menyortir bahan baku tersebut lokal, tapi memang ada tantangan," kata dia.
Oleh karena itu, dia berharap bantuan pemerintah untuk menyiapkan berbagai bahan baku lokal pengganti impor bagi industri minuman. Sehingga, dapat menekan impor bahan baku impor yang masih tinggi.
"Mudah-mudahan ini bisa tentunya mendapatkan dukungan juga dari pemerintah, agar kami bisa tetap melakukan in produksi seperti biasa saja," ujar dia.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Pengusaha Minuman Ringan: Dampak Pandemi COVID-19 Bikin Penjualan Terjun Bebas
Sebelumnya diberitakan, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo mengatakan, selama masa pandemi covid-19 terjadi penurunan penjualan minuman ringan hingga 50 persen.
"Kita semua tahu COVID-19 itu dampaknya bagaimana, bagi industri minuman sangat-sangat signifikan kita melihat penurunan penjualan bisa mencapai 45-50 persen," kata Triyono dalam Konferensi Pers bertajuk “Kinerja Industri Minuman di Tahun 2023, serta Peluang dan Tantangan di Tahun 2024” di Jakarta Selatan, Rabu (13/3/2024).
Dia menuturkan, selama masa pandemi pada 2020-2021 merupakan masa-masa sulit bagi industri minuman di dalam negeri.
"Benar-benar suatu kondisi bagi industri minuman sangat-sangat menyedihkan, sangat penuh dengan tantangan," ujarnya.
Adapun hingga kini, industri minuman ringan masih dalam proses pemulihan pasca covid-19. Dalam paparannya, tingkat penjualan secara umum mengalami pertumbuhan sebesar 3,1 persen dari 2022 hingga 2023 secara year on year.
Namun, penyumbang utama dari pertumbuhan tersebut adalah air mineral. Kata Triyono, tanpa penjualan air mineral, industri minuman ringan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 2,6 persen.
Triyono menyebut, industri makanan dan minuman (mamin) berkontribusi signifikan terhadap total produk domestik bruto (PDB) Indonesia, dan merupakan salah satu industri penyerap tenaga kerja terbesar.
Sebelumnya diberitakan, dukungan teknologi dinilai akan memperkuat industri makanan dan minuman untuk menghadapi tantangan mulai dari dampak geopolitik, perubahan iklim, krisis kesehatan, krisis logistik yang membuat harga pangan tinggi, kebijakan pembatasan oleh negara maju, hingga melonjaknya harga energi.
“Semua tantangan ini harus kami hadapi tahun depan dan seterusnya. Oleh karena itu, kami perlu mengantisipasi. Salah satu yang penting bagi industri makanan dan minuman adalah bagaimana kami harus didukung teknologi,” kata Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman dalam konferensi Agri-Food Tech Expo Asia (AFTEA) 2023 melansir Antara di Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2023.
Teknologi Bantu Industri Makanan Minuman Hadapi Tantangan
Adhi menilai adopsi teknologi baik industri 4.0, maupun inovasi dan teknologi dalam mendukung industri pangan dan agro.
Gapmmi pun menyambut pameran AFTEA 2023 untuk memamerkan perkembangan inovasi dan teknologi untuk produk/jasa agro dan makanan dari hulu ke hilir.
Ia berharap akan ada teknologi dari Indonesia yang bisa ditampilkan dalam ajang internasional tersebut guna mendongkrak daya tarik perusahaan yang ingin mengembangkan diri.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Jarot Indarto mengatakan untuk mencapai target Indonesia menjadi negara maju di 2045, tantangan utama yang dihadapi adalah produktivitas.
“Kalau soal produktivitas, salah satu beban untuk mengangkat itu adalah di sektor pangan dan pertanian. Transformasi di sektor pangan dan pertanian itu jadi kontribusi besar bagaimana kita menuju negara maju 2045,” ujar dia.
Bappenas, lanjut Jarot, terus mencari peluang agar sektor pangan dan pertanian bisa meningkatkan produktivitasnya salah satunya dengan bioekonomi.
Jarot menyebut potensi bioekonomi di bidang pangan dan pertanian dinilai sangat besar. Pihaknya pun tengah mengidentifikasi dan memetakan inovasi yang sudah berkembang. Namun, diakuinya, saat ini inovasi dan teknologi itu masih terbatas pada pengembangan di kementerian/lembaga.
“Pameran ini membantu kami memperluas perspektif kami soal inovasi dan teknologi yang dilakukan pelaku lainnya baik dari asosiasi atau swasta. Harapannya, kita bisa membawa investasi yang signifikan di sektor pangan dan pertanian,” katanya.
Advertisement