Liputan6.com, Jakarta - Negara-negara berkembang berpotensi membayar utang luar negeri sebesar USD 400 miliar atau setara Rp 6,4 kuadriliun di 2024. Sekitar 40 negara juga diprediksi tidak dapat membelanjakan dana yang mereka butuhkan untuk adaptasi iklim dan pembangunan berkelanjutan, tanpa risiko gagal bayar dalam 5 tahun ke depan.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah laporan yang dipimpin oleh Universitas Boston yang dirilis pada malam pertemuan musim semi IMF/Bank Dunia.
Mengutip Channel News Asia, Senin (15/4/2024) laporan dari Debt Relief for Green and Inclusive Recovery Project (DRGR) menemukan bahwa 47 negara berkembang akan mencapai ambang batas kebangkrutan utang luar negeri.
Advertisement
"Mereka akan berada dalam tekanan utang yang tinggi sehingga mereka akan mengalami gagal bayar (default), mengingat kondisi utang saat ini, jika mereka mencoba memobilisasi pembiayaan itu," kata Kevin Gallagher, direktur Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston.
Sebanyak 19 negara berkembang lainnya juga kekurangan likuiditas untuk memenuhi target belanja tanpa bantuan, meskipun negara-negara tersebut tidak dapat mendekati ambang batas default.
Maka dari itu, laporan Universitas Boston menyerukan perombakan pengelolaan keuangan global, bersamaan dengan pengampunan utang bagi negara-negara yang paling berisiko dan peningkatan pembiayaan terjangkau, serta peningkatan kredit.
"Kita perlu memobilisasi lebih banyak modal dan menurunkan biaya modal bagi negara-negara jika kita ingin mencapai hal ini," jelas Gallagher.
Proyek DRGR merupakan kolaborasi antara Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, Heinrich-Böll-Stiftung, Pusat Keuangan Berkelanjutan, SOAS dan Universitas London.
Â
IMF Perlu Kaji Keberlanjutan Utang
Laporan ini juga menekan IMF untuk mengubah cara mereka menghitung keberlanjutan utang.
Laporan tersebut mengingatkan, jika IMF menganggap suatu negara mampu menangani jumlah utang yang terlalu tinggi, hal ini dapat membebani negara tersebut dengan pembayaran yang tidak terjangkau, yang mungkin akan mendorongnya kembali ke kondisi gagal bayar (default).
DRGR mengatakan IMF, yang telah melakukan tinjauan analisis selama bertahun-tahun, perlu memasukkan kebutuhan belanja iklim, serta penyangga terhadap guncangan cuaca, mulai dari krisis iklim, krisis ekonomi, hingga pandemi.
"Jika komunitas internasional tidak bertindak dengan cepat dan seragam untuk memberikan keringanan utang yang komprehensif jika diperlukan, di samping likuiditas baru, hibah, dan pendanaan pembangunan yang lunak, dampak yang ditimbulkan jika tidak ada tindakan akan menjadi sangat besar," tulis laporan tersebut.
Advertisement
Utang Luar Negeri Indonesia Januari 2024 Turun Jadi USD 405,7 Miliar, Mayoritas Jangka Panjang
Bank Indonesia (BI) melaporkan nilai Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2024 menurun. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada Januari 2024 tercatat sebesar USD 405,7 miliar, turun dibandingkan dengan posisi Utang Luar Negeri pada Desember 2023 yang mencapai USD 408,1 miliar.
Secara tahunan, posisi Utang Luar Negeri Indonesia tumbuh sebesar 0,04% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,9% (yoy). Penurunan tersebut dikontribusikan oleh penurunan Utang Luar Negeri sektor publik dan swasta.
Asisten Gubernur Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, Utang Luar Negeri pemerintah mencatat penurunan. Posisi Utang Luar Negeri pemerintah pada Januari 2024 tercatat sebesar USD 194,4 miliar, turun dibandingkan dengan posisi pada bulan sebelumnya sebesar USD 196,6 miliar.
"Secara tahunan, Utang Luar Negeri pemerintah tumbuh sebesar 0,1% (yoy), melambat dibandingkan dengan bulan lalu sebesar 5,4% (yoy)," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (15/3/2024).Â
Erwin melanjutkan, penurunan posisi Utang Luar Negeri pemerintah antara lain dipengaruhi oleh pelunasan seri Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo. Pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola Utang Luar Negeri secara hati-hati, efisien, dan akuntabel.
Pemanfaatan Utang Luar Negeri terus diarahkan untuk fokus mendukung upaya Pemerintah dalam pembiayaan belanja program prioritas dan pelindungan masyarakat di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dukungan pembiayaan tersebut mencakup antara lain pada sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (21,1% dari total Utang Luar Negeri pemerintah), Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (18,0%), Jasa Pendidikan (16,9%), Konstruksi (13,7%), serta Jasa Keuangan dan Asuransi (9,7%).
"Posisi Utang Luar Negeri pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh Utang Luar Negeri memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total Utang Luar Negeri pemerintah," jelas dia.