Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menyangkal asumsi jika Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor membuat pelaku industri tekstil sengsara.
Menurut dia, aturan baru pengganti Permendag 36/2023 ini justru dimaksudkan untuk memudahkan para pelaku usaha, bukan malah menyulitkan. Sejumlah pelaku usaha terkait pun disebutnya telah mendukung regulasi ini.
Baca Juga
"Pada prinsipnya Permendag 8/2024 itu dimaksudkan untuk mempermudah. Ini bisa dicek di beberapa asosiasi dan juga beberapa pelaku usaha, mereka menyambut baik terbitnya Permendag 8, karena lebih simpel, lebih cepat dan lebih banyak kesempatan untuk mereka bisa men-submit ini secara efisien," urainya di Kantor Kemendag, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Advertisement
Sebelumnya, Jerry melihat banyak barang impor yang tertahan tidak bisa masuk Indonesia gara-gara butuh pertimbangan teknis (pertek), Melalui Permendag 8/2024, beberapa produk tidak lagi memerlukan pertimbangan tersebut, cukup dengan persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan.
"Tapi masih ada juga yang masih membutuhkan (pertek), seperti tekstil, produk tekstil. Kalau produk tekstil itu betul masih memerlukan pertimbangan teknis," ujar dia.
Namun, Kemendag tidak punya wewenang untuk mengeluarkan pertek. Ranah itu berada di kementerian terkait lainnya, sementara Kemendag berada di bagian akhir untuk persetujuan impor jika proses itu telah selesai.
"Jadi kami itu adalah kementerian yang di ujung. Ketika syarat-syarat teknis sudah selesai, diajukan ke kami. Kami bisa lakukan approval itu.Ini tentunya harus sinergi antar kementerian/lembaga, enggak bisa kerja sendiri, perlu koordinasi, komunikasi, sinergi yang paling penting, supaya enggak miskom," ungkapnya.
Menuai Kecaman
Adapun penerbitan Permendag 8/2024 ini menuai banyak kecaman dari pelaku usaha tekstil. Pengusaha industri konveksi skala kecil dan menengah memprediksi semakin banyak Industri Kecil Menengah (IKM) akan gulung tikar jika produk impor barang jadi mulus masuk ke Indonesia. Bahkan diprediksi penutupannya bisa mencapai 70 persen hingga akhir 2024.
Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman menyoroti berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Menurutnya aturan itu malah membuka kembali keran impor pakaian jadi yang dikhawatirkan menggerus pasar industri lokal dalam negeri.
Padahal, dia sudah mulai merasakan angin segar dari berlakunya Permendag 36/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang membatasi masuknya barang jadi ke Indonesia. Aturan ini semula berlaku efektif pada 10 Maret 2024, yang selanjutnya direvisi kembali oleh pemerintah.
"Sekarang terjadi ketika ada Permendag 8/2024 ini langsung, anehnya para penjual online itu, reseller itu berhenti kerja sama dengan IKM. Ini gimana nasib kami?," tanya Nandi di Kantor Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, sejak terbitnya aturan baru tersebut, sudah banyak rekan-rekannya pengusaha IKM tidak memproduksi pesanan. Bahkan disebutkan sudah terjadi penurunan produksi sebesar 20 persen.
Nandi turut menanggapi isu kalau isi kontainer yang tertahan di pelabuhan berisi barang-barang atau pakaian jadi. Jika demikian, dia khawatir barang-barang itu mengalahkan produk lokal di pasar dalam negeri dan menggerus IKM sektor konveksi ini hingga 70 persen pada akhir 2024.
"Mudah-mudahan isu kontainer banyak ini jangan sampai isinya jangan sampai pakaian jadi, kalau pakaian jadi yaa mungkin di akhir 2024 aja bisa 70 persen yang tutup IKM," tegas dia.
Advertisement
Banjir Impor Tekstil Ancam Indonesia, Industri Besar dan UMKM Sama-Sama Kena Getah
Sebelumnya, Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) dengan tegas menolak penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang dianggap sebagai langkah mundur bagi kebangkitan industri tekstil nasional.
IKATSI menyatakan keprihatinannya atas regulasi baru ini yang dinilai akan berdampak buruk bagi seluruh sektor industri tekstil, baik manufaktur besar maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ketua Umum IKATSI Muhammad Shobirin F Hamid mengungkapkan bahwa Permendag 8/2024 mencerminkan ketidakselarasan kebijakan dengan upaya revitalisasi dan peningkatan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
“Kebijakan ini tidak hanya menurunkan optimisme para pelaku industri, tetapi juga menghambat perkembangan teknologi dan inovasi yang sedang berjalan," ujarnya.
Menurut Shobirin, regulasi ini dapat mengakibatkan penurunan daya saing yang akan berdampak pada turunnya produksi dan kualitas produk tekstil Indonesia. “Pada akhirnya akan mengurangi kemampuan sektor industri TPT menyerap tenaga kerja di Indonesia,” tuturnya.
Permendag 8/2024 juga dipandang sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan industri manufaktur tekstil besar dan UMKM. Banyak pelaku usaha yang baru saja mulai pulih dan bangkit dari dampak Permendag 36/2023 yang sebelumnya juga telah membebani sektor tersebut.
“Bagi UMKM yang baru saja menata ulang strategi bisnis mereka pasca-Permendag 36/2023, kebijakan baru ini bisa menjadi pukulan telak yang mematikan," tegas Shobirin.
Berpotensi Tingkatkan Produk Impor
Menurut dia, penurunan permintaan bahan baku lokal, peningkatan biaya produksi, serta ketidakpastian regulasi menjadi beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh para pelaku industri. Hal ini menyebabkan banyak pelaku UMKM terpaksa mengurangi kapasitas produksi bahkan menghentikan operasionalnya.
“IKATSI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penerapan Permendag 8/2024, dan membuka ruang dialog dengan para asosiasi dan perkumpulan, serta pelaku industri TPT untuk mencari solusi terbaik demi keberlanjutan dan kemajuan industri TPT nasional.
Sementara itu, Pengamat Pertekstilan yang juga Mantan Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengemukakan bahwa regulasi Permendag 8/2024 berpotensi meningkatkan ketergantungan pada produk impor.
“Ketika industri lokal tidak mampu bersaing karena regulasi yang tidak mendukung, pasar akan lebih memilih produk impor yang lebih murah dan berkualitas, yang pada akhirnya melemahkan industri domestik," jelasnya.
Rizal juga menyarankan agar pemerintah lebih cermat dalam merumuskan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri lokal. “Diperlukan regulasi yang proaktif dan responsif terhadap kebutuhan industri serta mampu mendorong inovasi dan daya saing,” tandasnya.
Advertisement