Ada Larangan Penjualan Rokok Eceran, Bagaimana Dampak terhadap Penerimaan Negara?

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heriyanto menanggapi larangan penjualan rokok secara eceran.

oleh Agustina Melani diperbarui 31 Jul 2024, 18:30 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2024, 18:30 WIB
Ada Larangan Penjualan Rokok Eceran, Bagaimana Dampak terhadap Penerimaan Negara?
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan angkat bicara mengenai dampak larangan penjualan rokok secara eceran terhadap penerimaan negara.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan angkat bicara mengenai dampak larangan penjualan rokok secara eceran terhadap penerimaan negara.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heriyanto menuturkan, larangan penjualan rokok secara eceran tidak akan mempengaruhi terhadap penerimaan negara.

“Pembatasan nonfiskal, seperti tidak boleh dijual eceran, itu tidak mengurangi (penerimaan negara),” ujar Nirwala seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7/2024).

Nirwala menuturkan, penerimaan cukai dari rokok dipungut dalam tingkat pabrik, sehingga penjualan per batang tidak berpengaruh terhadap pungutan cukai.

"Pungutan satu kotak rokok itu ada tiga, yaitu cukai rokok, pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau (PPNHT), dan pajak rokok yang totalnya 68 persen. Jadi, kalau misal satu kotak rokok ini harganya Rp10.000, maka pungutan negara itu Rp6.800,” kata dia.

Dia mengatakan, kebijakan pembatasan nonfiskal lebih menekankan upaya mengurangi prevalensi merokok, alih-alih menjadi strategi penerimaan negara.

Dengan larangan penjualan rokok secara eceran, diharapkan dapat mengurangi keinginan masyarakat membeli rokok karena harga yang mahal. Di samping itu, kebijakan tersebut juga diharapkan dapat mempermudah Pemerintah dalam melakukan pengawasan.

"Kalau harganya jadi lebih mahal, orang akan mengurangi pembelian atau berhenti merokok,” ia menambahkan.

Larangan penjualan rokok secara eceran tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Larangan Penjualan Rokok Secara Eceran

Ilustrasi rokok Ilegal (Istimewa)
Ilustrasi rokok Ilegal (Istimewa)

 Pada Pasal 434 Ayat 1, disebutkan setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

Adapun hingga semester I-2024, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp97,84 triliun, terkontraksi 4,4 persen. Meski terkontraksi, nilai itu meningkat dari capaian Mei 2024 yang sebesar Rp77,94 triliun. Melambatnya penerimaan CHT dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi penundaan pelunasan cukai dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor PER-2/BC/2024.

Peraturan tersebut memperpanjang penundaan pelunasan dari 60 hari menjadi 90 hari, sehingga sebagian penerimaan Mei 2024 bergeser ke Juni 2024. Selain faktor itu, downtrading ke golongan rokok yang lebih murah juga disebut memengaruhi perlambatan penerimaan CHT.

Ini Dampaknya jika Tarif Cukai Rokok Naik Terus Menerus

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, pelaku usaha ritel serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menolak adanya kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025. Cukai rokok yang terus mengalami kenaikan hingga double digit setiap tahunnya telah menekan pendapatan para pelaku usaha kecil. Saat ini kontribusi pelaku usaha kecil mencapai 60% dari total PDB. 

Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi mengatakan potensi tingginya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan masih membayangi dan meresahkan peritel serta pelaku UMKM di Indonesia.

Tingginya kenaikan cukai rokok yang terjadi tiap tahun telah menurunkan daya beli konsumen terhadap rokok bercukai. Hal ini sekaligus membuka pintu peredaran rokok ilegal di masyarakat karena permintaan konsumen terhadap rokok di Indonesia relatif sama, namun daya belinya tidak mampu mengimbangi kenaikan cukai.

“Cukai rokok yang terus-menerus naik ini hanya membuat konsumen justru beralih kepada produk tembakau tanpa cukai. Karena ketika cukai itu naik, masyarakat akan menyesuaikan untuk adaptasi belanja sesuai kemampuannya,” ujarnya kepada media belum lama ini.

Bagi Anang, rencana kenaikan cukai rokok tahun depan hanya akan membuat fenomena rokok ilegal semakin parah dan mempersulit para pedagang kecil.

 

Gerus Pendapatan

Ilustrasi Rokok
Ilustrasi Rokok. Foto (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

“Rokok itu menyumbang hampir 50 persen dari total penjualan para pedagang kecil, dan mayoritas semua pedagang ritel itu menjual rokok, karena ini adalah produk fast moving. Kalau ada kenaikan cukai lagi justru membuat pedagang makin lemah,” tegasnya.

Selain itu, kebijakan kenaikan cukai rokok yang tinggi belum mampu membuat pendapatan negara dari cukai hasil tembakau bertambah dan malah melemah. Dengan adanya dampak ganda ini, Anang menilai kebijakan kenaikan cukai double digit terbukti memberikan dampak negatif bagi masyarakat, pedagang kecil, maupun negara.

Sebagai pelaku usaha, AKRINDO berusaha menaati peraturan yang ada termasuk dengan tidak menjual rokok ilegal pada usahanya. Akan tetapi maraknya rokok illegal yang semakin besar kerap menggerus pendapatan usaha ritel, baik kecil maupun besar, yang berusaha untuk tetap taat pada hukum yang berlaku.

 

Kenaikan Cukai Rokok

Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Anang berharap agar pemerintah benar-benar melalukan evaluasi atas kebijakan kenaikan cukai rokok yang telah diimplementasikan dalam beberapa tahun terakhir, agar pada tahun depan kebijakan yang ditetapkan dapat menguntungkan dan memberikan efek positif bagi semua pihak.

“Alangkah baiknya pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih kepada ekonomi kerakyatan, sehingga nanti tercipta multiplier efect yang lebih positif,” tambahnya.

Tidak hanya potensi kenaikan cukai rokok, Anang turut mengkhawatirkan adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang dinilai mengancam keberlangsungan peritel maupun UMKM di seluruh Indonesia. Sebab jika disahkan, sejumlah pasal pengaturan tembakau dalam RPP Kesehatan seperti adanya jarak penjualan rokok sejauh 200 meter dari instansi pendidikan akan berdampak langsung kepada omzet para pedagang kecil.

“RPP Kesehatan yang terbaru ini sangat mengekang bagi penjual atau bagi peritel, baik koperasi maupun UMKM, di mana pembatasan tempat penjualan akan sangat mengganggu bagi kami. Padahal situasi ekonomi saat tengah melemah,” kata Anang.

 

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen
Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya