Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto mengatakan, 99 persen netizen sepakat produk impor ilegal harus dibasmi, karena produk impor ilegal hanya akan mematikan usaha atau produk lokal.
Di sisi lain, hal menariknya mereka sadar akan perlunya kualitas produk dalam negeri ditingkatkan, karena jika tidak, konsumen tetap akan susah melirik produk dalam negeri.
Baca Juga
"Ternyata 99 persen netizen sepakat, tentu ini suatu harapan yang bagus. Mereka sepakat impor ilegal harus dibasmi," kata Eko dalam diskusi publik INDEF: Industri Tekstil menjerit, PHK melejit, Kamis (8/8/2024).
Advertisement
Adapun hasil tersebut berdasarkan analisis yang dilakukan INDEF terhadap respons masyarakat di media sosial X mengenai produk impor ilegal dan satgas impor. Analisis dilakukan pada 25 Juli hingga 6 Agustus 2024. Lebih lanjut, dari hasil analisis itu netizen juga mempertanyakan kenapa produk impor ilegal bisa masuk ke bea cukai. Selain itu, mereka juga mempertanyakan hasil sitaannya.
"Menarik dijawab untuk policy maker kita. Kalau oke bisa dikatakanlah dari satgas ini sudah bekerja dan ada hasilnya, itu dikemanakan. Itu pertanyaan mendasar juga bagi publik yang awam. Kalau tidak dijagain barang bisa masuk pasar lagi," ujar dia.
Sebagian netizen juga mengomentari kebijakan anti dumping yang meskipun kelihatan bagus karena produk impor makin mahal, tapi juga secara tidak langsung bisa menaikka harga produk lokal juga. Disamping itu, sebanyak 64,09 persen netizen tidak percaya dengan Satuan Tigas (Satgas) impor efektif untuk mengatasi impor ilegal.
Sebab, berkaca dari kebijakan pembentukan satgas sebelumnya, pembentukan satgas dinilai tidak memberikan efek signifikan. Penggerbekan gudang barang ilegal disamping mendapatkan apresiasi juga mendapatkan kritik netizen.
"Ternyata sebagian besar masih skeptis bahwa satgas impor ilegal akan efektif untuk mengatasi impor ilegal ini.Terlalu banyak satgas di kita ya ada 10, ada masalah ada satgas," pungkasnya.
INDEF Kritik Kinerja Satgas Impor Ilegal, Kurang Tegas?
Sebelumnya, Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto, menilai di Indonesia terlalu banyak Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk untuk menyelesaikan berbagai masalah, salah satunya Satgas impor ilegal.
Namun, dari pembentukan Satgas impor ilegal tersebut dinilai tidak efektif untuk mengatasi impor ilegal. Hal itu dibuktikan dengan analisis yang dilakukan INDEF terhadap respon masyarakat di media sosial X mengenai produk impor ilegal dan satgas impor. Analisis dilakukan pada 25 Juli hingga 6 Agustus 2024.
Sebanyak 64,09 persen netizen tidak percaya dengan Satuan Tigas (Satgas) impor efektif untuk mengatasi impor ilegal.
Sebab, berkaca dari kebijakan pembentukan satgas sebelumnya, pembentukan satgas dinilai tidak memberikan efek signifikan. Penggerbekan gudang barang ilegal disamping mendapatkan apresiasi juga mendapatkan kritik netizen.
"Ternyata sebagian besar masih skeptis bahwa satgas impor ilegal akan efektif untuk mengatasi impor ilegal ini.Terlalu banyak satgas di kita ya ada lebih 10 kali ya, ada masalah ada satgas. Satgas sebelumnya tidak efektif, sehingga netizen menilai ah jangan-jangan sama nih," kata Eko dalam diskusi publik INDEF: Industri Tekstil menjerit, PHK melejit, Kamis (8/8/2024).
Saran Optimalisasi
Meskipun publik masih kurang percaya dengan pembentukan Satgas impor ilegal, namun Eko memotivasi Satgas impor ilegal agar kinerjanya bisa lebih optimal. Dengan begitu, publik akan mengapresiasi seiring dengan optimalnya kinerja Satgas impor ilegal.
Disisi lain, kata Eko, warganet menilai bahwa tindakan dari satgas harus dilakukan secara totalitas, karena jika di hulu tidak diatas maka akan sama saja.
"Satgas ini harusnya kerjanya di hulu, jangan cuma incar pasar. Artinya harus menutup pintu, itu lebih bagus dibandingkan mengejar-ngejar yang sudah di dalam, karena efektivitasnya masih rendah kalau masih mengejar di hilir," pungkasnya.
Advertisement
Kacau! 50% Impor Tekstil Asal China Ilegal
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) mencatat, 50% impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China tidak tercatat masuk di Indonesia.
Plt Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Temmy Setya Perman mengungkapkan, hal itu karena adanya gap antara nilai ekspor China ke Indonesia dan data impor dari China yang tercatat di dalam negeri.
Ia membeberkan, pada tahun 2022 nilai produk tekstil China ke Indonesia mencapai Rp 29,5 triliun.
“Ada 50 persen nilai di produk tidak tercatat. Artinya angka ekspor yang masuk dari produk kita tidak seimbang,” ungkap Temmy,” ujar Temmy kepada media di Gedung Kemenkop dan UKM, Selasa (6/8/2024).
“(Oleh karena itu) kita menduga, ini mengindikasikan ada produk yang masuk secara ilegal,” lanjutnya.
Data ekspor China ke Indonesia hampir 3 kali lipat lebih besar dibandingkan nilai impor Indonesia dari China. Sehingga muncul selisih yang besar pada kode HS nomor 61-63.
Negara RugiKemenkop UKM memperkirakan, impor ilegal secara keseluruhan dapat menyebabkan kehilangan potensi serapan tenaga kerja sebanyak 67.000 dengan total pendapatan karyawan Rp 2 triliun per tahun.
Temmy lebih lanjut menyampaikan bahwa pihaknya merekomendasikan kebijakan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) sebesar 200% hanya untuk produk yang dikonsumsi akhir atau pada kode HS 58-65.
“Jadi memang 200 persen itu oke, tapi kita mengusulkan agar hati-hati pada produk akhir bukan terhadap bahan baku, industri sehingga industri tetap berkembang,” jelasnya.
“Batasnya adalah barang-barang konsumsi akhir (seperti) tas, kosmetik, pakaian,” imbuh Temmy.
Produk Impor Ilegal Bikin Rugi Pajak Rp 6,2 Triliun
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) menduga 50 persen impor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China tidak tercatat. Produk impor TPT yang tidak terdaftar itu merupakan barang ilegal.
Hal itu Plt. Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, Temmy Setya Permana saat acara Sharing Session terkait Serbuan Produk Impor di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Selasa (6/8/2024). "Ada 50 persen nilai impor yang tidak tercatat, artinya kita menduga mengindikasikan ada produk yang masuk secara ilegal karena tidak tercatat," ujar Temmy.
Temmy menuturkan, potensi impor tidak tercatat terbesar pada HS (60-63) berupa pakaian jadi. "Terdapat selisih yang besar pada HS Code pakaian jadi (61-63)," ujar Temmy.
Adapun potensi kerugian atas impor TPT asal China yang tidak tercatat mencapai sekitar Rp 29,7 triliun pada 2021. Angka estimasi kerugian ini diperoleh dari proyeksi total ekspor China ke Indonesia mencapai Rp58,1 triliun, sementara yang tercatat secara resmi hanya Rp28,4 triliun.
Sedangkan, potensi kerugian atas impor TPT asal China yang tidak tercatat sekitar Rp 29,5 triliun pada 2022. Prediksi kerugian ini diperoleh dari proyeksi total ekspor China ke Indonesia mencapai Rp61,3 triliun, sementara yang tercatat secara resmi hanya Rp31,8 triliun.
Secara luas, serbuan produk impor ilegal tersebut juga berdampak pada kehilangan potensi serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp 2 triliun per tahun. Selain itu, terdapat potensi kehilangan PDB multi sektor TPT sebesar Rp11,83 triliun per tahun.
"Ada juga kerugian negara pada sektor pajak sekitar Rp6,2 triliun terdiri dari pajak Rp1,4 triliun dan Bea Cukai Rp4,8 triliun," ujar dia.
Advertisement