Ramalan Bos JPMorgan Soal Resesi AS

Pemimpin bank AS terbesar berdasarkan aset dan salah satu suara paling disegani di Wall Street, telah memperingatkan tentang badai ekonomi di AS sejak 2022.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Agu 2024, 21:00 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2024, 21:00 WIB
CEO JP Morgan, Jamie Dimon
CEO JP Morgan, Jamie Dimon

Liputan6.com, Jakarta Bos bank ternama di Amerika Serikat JPMorgan Chase, Jamie Dimon mengungkapkan bahwa ia masih melihat adanya peluang soft landing bagi ekonomi AS, sekitar 35% hingga 40%. Namun, ia juga tidak mengesampingkan risiko resesi pada perekonomian AS.

Ketika ditanya apakah ia telah mengubah pandangannya sejak Februari bahwa pasar terlalu optimis terhadap risiko resesi, Dimon mengatakan peluangnya hampir sama dengan seruannya sebelumnya.

 

"Ada banyak ketidakpastian di luar sana," kata Dimon, dikutip dari CNBC International, Kamis (8/8/2024).

 

"Saya selalu menunjuk pada geopolitik, perumahan, defisit, pengeluaran, pengetatan kuantitatif, pemilihan umum, semua hal ini menyebabkan kekhawatiran di pasar," ungkapnya.

Dimon, pemimpin bank AS terbesar berdasarkan aset dan salah satu suara paling disegani di Wall Street, telah memperingatkan tentang badai ekonomi di AS sejak 2022.

Namun, ekonomi telah bertahan lebih baik dari yang diharapkannya, dan Dimon memastikan, meskipun gagal bayar peminjam kartu kredit meningkat, Amerika Serikat tidak sedang dalam resesi saat ini.

Tetapi Dimon menambahkan ia sedikit skeptis bahwa Federal Reserve dapat menurunkan inflasi ke target 2% karena pengeluaran masa depan untuk sektor ekonomi hijau dan militer.

"Selalu ada berbagai macam hasil," ucapnya.

"Saya sepenuhnya optimis bahwa jika kita mengalami resesi ringan, bahkan yang lebih parah, kita akan baik-baik saja. Tentu saja, saya sangat bersimpati kepada orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Anda tidak menginginkan pendaratan yang keras," tutur Dimon.

Rupiah Unggul dari USD, Kembali Masuk Level Rp.15.000 Kamis 8 Agustus 2024

Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Rupiah melanjutkan penguatan pada Kamis, 8 Agustus 2024. Rupiah ditutup menguat tajam 141,5 point terhadap Dolar Amerika Serikat (USD), walaupun sebelumnya sempat melemah 145 point dilevel Rp. 15.893,5 dari penutupan sebelumnya di level Rp.16.035.

"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp.15.820 - Rp.15.920," ungkap Ibrahim Assuaibi, Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka dalam keterangan di Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Di AS, investor saat ini tengah gelisah melihat prospek perekonomian jatuh ke dalam resesi, ditambah dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi hingga inflasi yang belum kunjung mereda. Investor juga mengharapkan Federal Reserve atau The Fed segera menurunkan suku bunga acuan.

Investor meningkatkan posisinya pada potensi The Fed untuk menurunkan suku bunga setelah pertemuan secara mendadak pekan lalu.

Pada pertemuan tersebut, Ketua The Fed Jerome Powell mengisyaratkan penurunan suku bunga pada September 2024 dapat terjadi.

 

Aset Safe-Haven

Pernyataan tersebut kemudian diikuti rilis data pasar tenaga kerja yang lemah pada hari Jumat pekan yang sama. Pasar swap memperkirakan penurunan suku bunga The Fed hampir 50 basis poin pada September 2024.

"Peran tradisional dolar AS sebagai aset safe-haven akan selalu dapat kembali muncul jika pasar terus goyah atau ancaman geopolitik di Timur Tengah meningkat. Begitu pula dengan kembalinya fenomena Trump trade, yaitu menaruh dana pada aset seperti dolar AS atau Bitcoin yang dipandang mendapat manfaat dari kebijakan fiskal yang lebih longgar dan tarif yang lebih tinggi jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS," papar Ibrahim.

Sementara itu di Asia, para pembuat kebijakan Bank of Japan yang dirilis pada hari Kamis (8/8) menunjukkan bahwa anggota bank sentral Jepang masih melihat ruang untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut, dan suku bunga harus mencapai sekitar 1% untuk mencapai tingkat yang netral bagi perekonomian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya