ADB Beri Pinjaman Rp 7,55 Triliun Buat Transisi Energi, Berapa Bunganya?

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai USD 500 juta atau sekitar Rp 7,55 triliun.

oleh Tim Bisnis diperbarui 24 Sep 2024, 13:10 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2024, 13:10 WIB
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: istimewa)
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia menyetujui pinjaman berbasis kebijakan ke Indonesia senilai USD 500 juta atau kurang lebih Rp 7,55 triliun (Asumsi kurs Rp15.101 per USD). Pinjaman ini untuk membantu Indonesia mempercepat transisi energi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengecek nilai bunga pinjaman dari ADB tersebut. Namun, umumnya nilai bunga utang yang diberikan lebih rendah.

"Itu perlu dicek, biasanya (bunga) lebih rendah," kata Airlangga di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2024).

Airlangga mengungkapkan bantuan utang dari ADB tersebut akan digunakan untuk sejumlah program pendukung percepatan transisi energi. Antara lain program pensiun dini PLTU Batu bara.

"Ya kan salah satunya kemarin untuk percepatan daripada transisi ataupun early retirement dari power plant. Tetapi tentu itu masih ada mekanisme yang harus di dalami," tandasnya.

Untuk diketahui, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai USD 500 juta atau sekitar Rp 7,55 triliun.

Program Transisi Energi yang Terjangkau dan Berkelanjutan akan mendukung berbagai langkah kebijakan Indonesia dalam mencapai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dan target emisi bersih nol dari pembangkitan listrik pada 2050, salah satu dari dua subprogram dalam program ini.

"Indonesia berada di persimpangan yang sangat penting dalam perjalanan transisi energi-nya," ujar Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga seperti dikutip dari keterangan resmi, Jumat (20/9/2024).

Program ini fokus membangun kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat bagi transisi energi bersih, memperkuat tata kelola sektor dan keberlanjutan keuangan, serta memastikan transisi yang adil dan inklusif.

Salah satu langkah pentingnya adalah pengembangan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP), dengan dukungan dari Kemitraan Transisi Energi Adil Indonesia, yang mengidentifikasi persyaratan dan peluang investasi untuk mencapai transisi energi yang adil.

Langkah penting lainnya termasuk penyempurnaan regulasi guna meningkatkan skala kapasitas energi terbarukan, dan prakarsa untuk memperkuat kapasitas dan tata kelola badan usaha milik negara di bidang energi, termasuk meningkatkan kesetaraan gender.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Potensi Energi Terbarukan Indonesia Melimpah, Kok Pendanaan Masih Seret?

Transisi Energi
Sambungan jaringan HVDC pertama yang pernah ada dari ladang angin lepas pantai, Stasiun konverter BorWin1 di Laut Utara

Melalui Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2024, pemerintah, lembaga keuangan dan pelaku usaha bertemu untuk mencari solusi dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.

Investasi dan regulasi menjadi pokok bahasan pada hari ketiga ISEW 2024, sebagai tantangan yang perlu dijembatani antara pemerintah, Lembaga keuangan dan pelaku usaha dalam mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan.

Meskipun memiliki potensi energi terbarukan lebih dari 3.686 GW (ESDM), proyek energi terbarukan di Indonesia terhambat oleh beberapa tantangan. Berdasarkan hasil diskusi ISEW 2024 hari ketiga terdapat lima tantangan utama. Pertama, kurangnya akses terhadap modal dan terbatasnya opsi pembiayaan.

Kedua, kurangnya insentif finansial. Ketiga, ketidakpastian kebijakan. Keempat, kurangnya peta jalan investasi berkelanjutan. Kelima, risiko dan probabilitas proyek.

Project Lead CASE for Southeast Asia – GIZ Energy Programme Indonesia/ASEAN, Deni Gumilang mengatakan bahwa lembaga keuangan masih perlu diyakinkan untuk berinvestasi bagi proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia karena dianggap sebagai investasi dengan risiko tinggi dengan jangka pengembalian yang cukup lama.

“Untuk membuka peluang-peluang investasi pada proyek energi terbarukan, Indonesia perlu menerapkan instrumen-instrumen de-risking terutama pada pengurangan risiko kebijakan yang sejalan dengan pengurangan risiko keuangan dalam meningkatkan peran pihak swasta," kata Deni dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (13/9/2024).

"Investasi sektor swasta sangat penting untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris terutama di sektor energi, dengan 80-85% dari pembiayaan yang dibutuhkan diharapkan berasal dari pihak swasta tersebut. Sementara, pemerintah memainkan peran yang sangat penting dalam menciptakan kerangka kebijakan yang mengurangi risiko investasi tersebut," lanjut dia.

 


Risiko Investasi

Berdasarkan laporan De-Risking Facilities for The Development of Indonesia’s Renewable Power Sector (CASE, 2022), terdapat sembilan  instrumen yang dapat dilakukan untuk menurunkan resiko dari investasi pada proyek-proyek energi terbarukan:

  1. jaminan proyek dan finansial,
  2. pinjaman berbasis kinerja,
  3. sekuritisasi aset,
  4. obligasi hijau,
  5. modal awal,
  6. hibah yang bisa dikonversi,
  7. agregasi asset,
  8. pembiayaan mezzanine dan
  9. kredit lunak.
 
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya