Menilik Keseriusan Indonesia Memangkas Karbon

Regulasi Indonesia telah mengenal pajak karbon sebagai tindakan preventif yang akan menghitung dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan sebagai biaya yang dipertanggungjawabkan.

oleh Arthur Gideon diperbarui 25 Nov 2024, 09:30 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2024, 09:30 WIB
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Karbon dioksida (CO2) (Sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Gelaran COP29 untuk membahas kebijakan iklim global dengan fokus pada pengurangan dampak perubahan iklim, percepatan transisi energi, dan peningkatan pendanaan iklim telah berakhir. Dalam ajang ini ditargetkan pendanaan untuk negara berkembang kurang lebih USD 500 miliar hingga USD 1 triliun per tahun bagi negara berkembang.

Indonesia akan meluncurkan pendanaan ekonomi hijau dari target penjualan 557 juta karbon. Perdagangan karbon ini ditargetkan bisa meraup USD 65 miliar pada 2028 digadang-gadang mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi jadi 8%, dan penghutanan kembali.

Namun, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza menjelaskan, penjualan karbon yang disebut pemerintah sebagai aksi iklim ini tidak melihat bahwa sebenarnya hutan-hutan alam sebagai natural carbon sink telah habis beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2023, hutan habitat satwa langka terancam punah-orangutan dan sumber kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat seluas 33 ribu hektar karena satu perusahaan.

“Penjualan karbon dikampanyekan di saat pemerintah tidak bertindak apa-apa ketika hutan-hutan alam dihancurkan baik untuk pencapaian target program transisi energi palsu melalui co-firing biomassa maupun proyek strategis nasional lain," jelas Amalya Reza.

Alih-alih menjajakan karbon, aksi iklim yang bisa dilakukan pemerintah selain menghentikan rencana pembangunan PLTU baru dan memensiunkan pembangkitan dari sumber energi fosil adalah menerapkan pajak karbon bagi para pencemar emisi.

Regulasi Indonesia telah mengenal pajak karbon sebagai tindakan preventif yang akan menghitung dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan sebagai biaya yang dipertanggungjawabkan.

Dari banyak kajian mengungkapkan, pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak dari sektor energi senilai Rp 23,651 triliun pada 2025 dari pajak karbon yang dikenakan. Sedangkan kajian lain menyebut potensi pendapatan minimal bisa mencapai Rp 51 triliun untuk pajak karbon dan Rp 145 triliun dari izin karbon per tahunnya.

“Sudah saatnya Presiden Prabowo membalikan kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan dan bertindak melindungi warga yang semakin rentan melalui pemungutan pajak dari industri penghasil emisi penyebab cuaca ekstrim dan pemanasan global,” tambah Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian.

 

Emisi Karbon Global Naik 41,6 Miliar Ton, Capai Rekor Tertinggi pada 2024

Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Karbon dioksida (CO2) (Sumber: Pixabay)

Tim ilmuwan Global Carbon Project yang berbasis di Inggris mengeluarkan laporan terbaru soal emisi karbon global dari bahan bakar fosil. Laporan tersebut menyebut bahwa kadar emisi karbon global dari bahan bakar fosil mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024.

Laporan bertajuk "Anggaran Karbon Global 2024" itu, seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (15/11/2024), memproyeksikan emisi karbon dioksida (CO2) dari pembakaran dan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 37,4 miliar ton, naik 0,8% dari tahun 2023.

Selain emisi dari penggunaan bahan bakar fosil, laporan tersebut juga mengungkap proyeksi emisi dari perubahan penggunaan lahan (seperti deforestasi) sebesar 4,2 miliar ton, sehingga total emisi CO2 diproyeksikan mencapai 41,6 miliar ton pada tahun 2024, meningkat dari 40,6 miliar ton pada tahun 2023 lalu.

Laporan ini muncul di tengah berlangsungnya KTT Iklim PBB COP29 di Baku, Azerbaijan, di mana negara-negara menegosiasikan cara untuk mencapai target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015 dan mempercepat pengurangan emisi menuju "net zero” atau nol emisi karbon guna membatasi kenaikan suhu global.

"Waktu hampir habis untuk memenuhi target Perjanjian Paris - dan para pemimpin dunia yang bertemu di COP29 harus melakukan pengurangan emisi bahan bakar fosil secara cepat dan mendalam, agar kita memiliki peluang untuk tetap berada di bawah 2 derajat Celsius, dari tingkat pemanasan pra-industri,” ujar Pierre Friedlingstein dari Exeter's Global Systems Institute, yang memimpin penelitian tersebut.

Emisi Kembali Meningkat Setelah Satu Dekade Stagnan

Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Sementara emisi CO2 dari bahan bakar fosil meningkat dalam 10 tahun terakhir, emisi CO2 dari perubahan penggunaan lahan justru rata-rata mengalami penurunan, sehingga menjaga total emisi relatif stabil selama periode itu, kata laporan tersebut.

Namun tahun ini, emisi karbon dari bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan diperkirakan akan meningkat. Hal ini sebagian disebabkan oleh kekeringan, dan emisi dari deforestasi serta kebakaran hutan yang dipicu oleh pola cuaca El Nino pada 2023-2024.

Dengan lebih dari 40 miliar ton CO2 yang dilepaskan setiap tahunnya, tingkat karbon di atmosfer terus meningkat, dan itu mendorong pemanasan global yang berbahaya.

Tahun 2024 juga diprediksi akan jadi tahun terpanas yang pernah tercatat, siap melampaui rekor suhu panas pada 2023, dengan beberapa bulan berturut-turut mencatatkan suhu lebih dari 1,5 derajat Celsius.

Dengan tingkat emisi saat ini, 120 ilmuwan yang berkontribusi dalam laporan Anggaran Karbon Global tersebut memperkirakan kemungkinan kenaikan suhu global melebihi 1,5 derajat Celsius dalam waktu sekitar enam tahun.

Pada 2024, peristiwa cuaca ekstrem terkait pemanasan global, termasuk gelombang panas yang mematikan, banjir besar, badai tropis, kebakaran hutan, dan kekeringan ekstrem, telah menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi manusia.

"Dampak perubahan iklim menjadi semakin dramatis, tapi kami masih belum melihat tanda-tanda bahwa pembakaran bahan bakar fosil ini telah mencapai puncaknya,” kata Friedlingstein.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya