Liputan6.com, Jambi - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyambut baik langkah pemerintah yang akan segera meresmikan perdagangan karbon di Indonesia. Namun, dibalik dibukanya "kran" perdagangan karbon untuk sektor kehutanan itu muncul kekhawatiran perhutanan sosial berpotensi ditunggangi broker atau tengkulak perdagangan karbon.
Direktur KKI Warsi Ade Junaedi di Jambi, Jumat (14/3/2025) mengatakan, perlunya mekanisme yang jelas agar masyarakat penjaga hutan tetap mendapat keuntungan dari program tersebut. Menurut dia, jika tidak ada mekanisme yang jelas perdagangan karbon ini nantinya rawan ditunggangi broker atau kepentingan bisnis tertentu.
“Yang bahayanya kalau broker-broker perdagangan karbon nanti akan memanfaatkan perhutanan sosial. Dikhawatirkan masyarakat yang selama ini benar-benar menjaga hutannya tidak mendapatkan keuntungan dan justru hanya menjadi penonton,” kata Ade Junaedi.
Advertisement
Juned--sapaan akrab Ade Junaedi menjelaskan, perhutanan sosial itu izin dan haknya diberikan dan dikelola masyarakat, mulai dari hutan desa sampai hutan adat. Namun karena keterbatasan modal dan sumber daya manusianya, pengelola pehutanan sosial ini rawan ditunggangi oleh broker atau tengkulak karbon.
“Sistem pasar. Kalau ada tengkulak atau broker, yang banyak hasilnya bukan masyarakat, tapi ya broker itu,” ujar Juned.
Ade menyitir siaran pers Kementerian Kehutanan yang menyebutkan bahwa sektor Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton per hektare dengan harga mencapai EUR 30 per ton. Pada tahun 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton, dengan nilai transaksi sekitar 1,6-3,2 triliun rupiah per tahun.
Baca Juga
Menurut Ade Junaedi, jika harga jualnya besar, hal ini tentu menjadi kabar baik bagi komunitas pengelola perhutanan sosial. Masyarakat bisa menerima penerimaan dana larbon lebih baik lagi.
Namun, tentu saja penting untuk mengkonsolidasikan kembali komunitas masyarakat perhutanan sosial tentang bagaimana mekanismenya. Sebab dengan peluang harga karbon yang besar dapat menimbulkan “tengkulak” karbon, sehingga hasil penjualan yang sampai ke tingkat masyarakat jauh lebih kecil.
KKI Warsi, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada isu konservasi dan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan ingin mempromosikan bahwa komunitas masyarakat perhutanan sosial mampu langsung mengakses pasar karbon. Masyarakat kata Ade, perlu didampingi, misalnya diajarin cara menghitung karbon, membuat perencanaan dan lain sebagainya.
“Dan juga yang kita dorong itu bagaimana membangun model perdagangan karbon yang dikelola oleh koperasi atau BUMDES. Ini jadi momentum bagi pihak-pihak yang mengambil peran, misalnya ekonomi desa berbasis karbon,” kata Ade.
Perdagangan Karbon Segera Diresmikan: Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan perdagangan karbon dari sektor kehutanan segera diresmikan. Perdangan karbon ini sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau.
Menhut mengatakan program ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
“Langkah ini sejalan dengan visi Astacita yang diusung Presiden RI Prabowo Subianto dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keinginan lingkungan,” kata Menhut Raja Antoni, Kamis (13/3/2025) dikutip dari Antara .
Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda-beda.
PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton CO2/ha dengan harga USD 5-10/ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2/ha dengan harga mencapai 30 euro/ton CO2.
Pada tahun 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun-Rp3,2 triliun per tahun.
Jika dioptimalkan hingga 2034, lanjut Menhut, maka potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai Rp97,9 triliun-Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23 triliun-Rp60 triliun, serta PNBP Rp9,7 triliun-Rp25,8 triliun per tahun.
Selain itu, program ini diharapkan dapat menciptakan 170 ribu lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.
Menhut menegaskan perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR).
Untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim Hashim Djojohadikusumo.
Salah satu langkah strategi yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025.
Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.
“Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta memperkuat komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Raja Antoni.
Advertisement
