Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution/ISEAI, Ronny P Sasmita mengungkapkan, penipuan di sektor keuangan, terutama yang terjadi di dunia maya, memiliki dampak yang sangat merugikan terhadap perekonomian.
Salah satu akibat paling signifikan dari penipuan semacam ini adalah disalokasinya capital atau modal yang seharusnya bisa digunakan oleh konsumen untuk berbagai kepentingan produktif.
Baca Juga
"Secara ekonomi penipuan di sektor keuangan ini membuat capital yang dimiliki oleh konsumen menjadi tidak teralokasikan sebagaimana mestinya,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Jumat (29/11/2024).
Advertisement
Menurut Ronny, ketika konsumen tertipu oleh penipuan sektor keuangan online, dana yang seharusnya bisa digunakan untuk investasi, membiayai kehidupan sehari-hari, atau menggerakkan roda ekonomi, justru berpindah tangan kepada penipu yang tidak jelas tujuan dan penggunaannya. Dengan kata lain, penipuan ini mengalihkan capital dari konsumsi yang produktif ke pihak yang tidak memiliki kontribusi terhadap perekonomian secara luas.
"Jadi, ini terjadi disalokasi capital gara-gara penipuan ini, itu pasti buruk untuk ekonomi. Karena kalau konsumen atau masyarakat tidak kena tipu maka dia punya capital dan bisa pakai untuk kebutuhan dia dan bisa untuk menggerakkan ekonomi, sementara kalau konsumen ditipu oleh orang dan nobody now rekeningnya digunakan apa oleh penipu ini, itu akhirnya tidak produktif ekonominya,” jelasnya.
Masalah ini semakin mengkhawatirkan apabila penipuan tersebut terjadi pada konsumen kelas menengah, yang memiliki potensi lebih besar untuk memajukan ekonomi jika modal mereka digunakan dengan tepat.
Penipuan yang terus berkembang, baik itu investasi bodong atau penipuan online lainnya, membuat aliran dana yang seharusnya berputar dalam perekonomian menjadi terhambat dan tidak produktif.
Ronny menekankan, selain melanggar hukum, penipuan semacam ini memiliki dampak yang sangat merusak terhadap kehidupan ekonomi korban.
Pemerintah Harus Serius Tangani Kasus Penipuan Keuangan
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam menangani kasus-kasus penipuan keuangan, guna mencegah kerugian lebih lanjut yang dapat merugikan masyarakat dan perekonomian negara.
"Pemerintah harus benar-benar serius menangani penipuan online, investasi bodong, dan sejenisnya, karena ini merusak kehidupan ekonomi masyarakat dan membuat mereka menderita. Ini harus ditekan seminimal mungkin,” ujarnya.
Dia menuturkan, penipuan yang semakin banyak terjadi tidak hanya merugikan individu, tetapi juga memengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Untuk itu, pengawasan yang lebih ketat dan edukasi yang lebih luas kepada masyarakat mengenai risiko penipuan finansial menjadi langkah penting untuk meminimalkan dampaknya.
Dengan begitu, capital yang dimiliki konsumen dapat digunakan dengan bijak untuk kemajuan ekonomi, bukannya disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Advertisement
Warga RI Sering Kena Penipuan Sektor Jasa Keuangan? Ini Biang Keroknya
Sebelumnya, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda, mengatakan penipuan dalam sektor jasa keuangan, terutama yang berhubungan dengan keuangan digital, semakin marak di Indonesia.
Salah satu penyebab utama di balik semakin berkembangnya modus penipuan di bidang ini adalah masih rendahnya literasi keuangan.
"Penipuan jasa keuangan ini yang jelas sangat terkait dnegan literasi keuangan. Literasi keuangan masyarakat kita masih cukup rendah. Terutama kalau kita lihat untuk penipuan-penipuan dibidang keuangan yang berkaitan dengan keuangan digital. Karena literasi keuangan kita juga masih rendah," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Kamis (28/11/2024).
Menurut Huda, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Kondisi ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para penipu yang menawarkan iming-iming keuntungan yang tidak realistis, seperti "keuntungan 30-70 persen per bulan".
Tidak Logis
Angka tersebut jelas tidak logis dalam dunia investasi yang sehat. Namun, banyak masyarakat yang terjebak karena ketidaktahuan mereka tentang produk keuangan digital yang mereka gunakan. Mereka juga cenderung tergoda untuk menampilkan gaya hidup konsumtif atau “flexing” di media sosial, yang sering kali dimanfaatkan oleh pelaku penipuan.
"Hal ini menjadi celah bagi oknum-oknum penipu-penipu yang memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia yang buta jasa keuangan kita, keuangan digital kita, karena mereka pasti akan melihat oh ini karalteristik masyarakat Indonesia suka flexing, dan pada akhirnya ini akan menjadi pintu masuk utama para penipu," ujarnya.
Minta Masyarakat Hati-Hati
Huda mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi atau data keuangan. Meskipun banyak penawaran yang tampak menggiurkan, konsumen harus tetap berpikir secara logis dan rasional. Keuntungan di atas 10 persen per bulan sudah seharusnya dicurigai sebagai penipuan, karena hal ini jauh dari batas wajar dalam dunia investasi yang sah.
"Jangan mengumbar secara tidak langsung juga, masyarakat juga harus berpikir logis bahwa tidak mungkin untuk dia mendapatkan keuntungan di atas 10 persen, kalau di atas 10 persen bisa di anggap scam atau penipuan, itu yang harus dilakukan konsumen untuk tidak jadi korban jasa keuangan," ujarnya.
Dalam konteks ini, pentingnya meningkatkan literasi keuangan digital menjadi sangat krusial. Masyarakat perlu memahami dengan lebih baik bagaimana cara mengenali penawaran investasi yang aman dan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang sehat.
Peningkatan literasi ini tidak hanya akan melindungi konsumen dari kerugian finansial, tetapi juga akan memperkuat fondasi ekonomi digital Indonesia untuk berkembang dengan lebih baik.
Advertisement