Okupansi Hotel Naik saat Libur Nataru tapi Dibayangi PPN 12 Persen

Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono menyebut okupansi hotel selalu naik selama momen Nataru.

oleh Arief Rahman H diperbarui 26 Des 2024, 12:04 WIB
Diterbitkan 26 Des 2024, 12:04 WIB
Okupansi Hotel Naik saat Libur Nataru tapi Dibayangi PPN 12 Persen
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta mencatat ada kenaikan okupansi dan penggunaan hotel selama libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru).(Image by kstudio on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta mencatat ada kenaikan okupansi dan penggunaan hotel selama libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru). Namun, perusahaan masih dibayangi dengan beban operasional imbas rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono menyebut okupansi hotel selalu naik selama momen Nataru. Kendati begitu, menurut dia pendapatan dari kenaikan tadi belum bisa menutup beban operasional perusahaan.

"Kalau soal okupansi ya biasalah akhir tahun biasanya ya itu rutin saja, itu mengalami peningkatan, tetapi itu juga tidak terlalu bisa mengobati persoalan," kata Sutrisno saat ditemui Liputan6.com, di Jakarta, dikutip Kamis (26/12/2024).

Dalam hitungannya, peningkatan okupansi hotel hanya berlangsung sebentar. Secara total, hanya sekitar 6 hari pada waktu sebelum libur Tahun Baru hingga setelah Tahun Baru.

"Karena misalnya akhir tahun, paling-paling 3 hari sebelum tahun baru, dan 3 hari sesudahnya, hanya itu yang 6 hari, tidak terlalu signifikan," urainya.

Dia mengungkapkan beban perusahaan yang harus ditanggung. Kenaikan PPN jadi 12 persen membuat berbagai kebutuhan hotel turut meningkat. Sehingga, kenaikannya bukan sebatas dari 11 persen ke 12 persen.

"Soal hotel itu suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu. Dan itu pasti kena PPN semua. Jadi implikasinya apa? Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun," tuturnya.

Cuma 55 Persen Kamar Hotel Terisi

Dia menerangkan masih banyak kamar hotel yang tidak terisi pada momen-momen normal. Tingkat keterisian lebih sedikit lagi pada hotel-hotel kelas bawah.

 

 

Berdampak terhadap Hotel Kecil

Ilustrasi hotel
Ilustrasi hotel (Dok.Unsplash)

"Sekarang itu okupansinya hotel, kalau kita lihat, itu sekitar 55 persen hotel. Itu hotel bintang, 55 persen. Tapi kalau hotel yang non bintang, itu malah sekitar 40 persen. Hotel-hotel kecil, hotel bintang 1, non bintang itu hanya sekitar 40 persen," terangnya.

Dia mengatakan, kenaikan harga imbas PPN 12 persen bisa saja diterima oleh konsumen jasa hotel berbintang. Namun, kenaikan harga belum tentu bisa diterima oleh konsumen hotel non bintang, alhasil frekuensi sewanya pun ikut menurun.

"Jadi yang terkena itu kan hotel-hotel kecil itu. Yang ternyata di situ memang pedat karya. Yang gede lumayan, karena hotel-hotel gede itu kan yang datang kan orang berduit, sehingga kenaikan harga sedikit tidak terlalu terasa. Tapi hotel yang bawah, yang datang kan kelas menengah ke bawah, jadi harga naik sedikit, ya sudah, dia tidak beli, tidak nginep lagi," pungkas Sutrisno Iwantono.

 

Biaya Operasional Hotel Diprediksi Naik

Hotel Singapura Terapkan Teknologi Pengenal Wajah untuk Check-In Wisatawan Asing
ilustrasi hotel. (dok. unsplash/Novi Thedora)

Sebelumnya, Pemerintah sepakat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini bisa meningkatkan biaya operasional sektor pariwisata, termasik hotel.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menghitung kenaikan PPN bisa mengerek beban perusahaan hotel dan pariwisata lebih tinggi. Pasalnya, kenaikan terjadi di setiap bahan yang dibutuhkan.

"Kenaikan ini memicu juga untuk cost dari perhotelan juga meningkat mengingat banyak fasilitas perhotelan yang kena PPN mulai dari sabun mandi hingga jasa laundry," ujar Huda kepada Liputan6.com, Kamis (26/12/2024).

Dengan demikian, harga sewa hotel menjadi semakin mahal. Tingginya harga sewa hotel dikhawatirkan akan berpengaruh pada permintaan masyarakat.

Huda melihat, dampak kenaikan PPN jadi 12 persen ini merembet ke berbagai aspek pariwisata. Tak cuma hotel, tapi juga hingga jasa perjalanan dan tiket pesawat.

"Tentu memicu harga hotel semakin mahal, permintaan agregat akan turun. Maka dari itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini menimbulkan multiplied effect yang negatif terhadap sektor pariwisata," tuturnya.

Huda juga menghitung, kenaikan biaya operasional perusahaan hotel dan sejenisnya bisa meningkat minimal 15 persen. Padahal, PPN hanya naik 1 persen dari 11 persen ke 12 persen.

"Biaya operasional bisa meningkat minimal 15 persen mengingat perhotelan yang mempunyai cost terkait PPN cukup banyak," ujarnya.

Daya Beli Masyarakat Turun

20160925-Wajib Pajak Antusias Ikut Program Tax Amnesty di Hari Minggu-Jakarta
Suasana di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Minggu (25/9). Mengantisipasi lonjakan peserta tax amnesty, DJP membuka tempat pendaftaran program pada Sabtu-Minggu pukul 08.00-14.00. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Huda menjelaskan, kenaikan PPN yang berdampak ke banyak aspek itu membuat perekonomian Indonesia melambat. 

"Yang membuat perekonomian bisa melambat dan menyebabkan PHK adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen," ucapnya. 

Kenaikan harga secara masif membuat masyarakat lebih memilih dalam melakukan belanja. Dengan begitu, daya beli masyarakat disebut akan menurun.

"Kenaikan tersebut menggerus daya beli masyarakat sehingga permintaan agregat bisa turun, termasuk yang berhubungan dengan pariwisata, mulai dari pemesanan tiket pesawat dan hotel," pungkas Nailul Huda.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya