Program ATSEA-2 Ditutup, Pendanaannya Sentuh USD 9,7 Juta

Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 27 Des 2024, 22:15 WIB
Diterbitkan 27 Des 2024, 22:11 WIB
Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian
Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian (dok: natasha)

Liputan6.com, Jakarta Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian, setelah lima tahun terlaksana pada periode 2019-2024.

Sebagai informasi, program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action atau ATSEA merupakan proyek lintas batas yang melibatkan Indonesia, Timor-Leste, Papua Nugini, dan Australia yang berfokus pada tata kelola lintas batas, restorasi ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir Arafura and Timor Seas atau ATS.

Proyek ATSEA-2 berhasil meraih berbagai capaian dalam memperkuat tata kelola regional, melestarikan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan ATS dengan pendanaan USD 9,7 juta atau sekitar Rp.157,1 miliar dari Global Environment Facility (GEF).

National Project Director (NPD) for ATSEA-2, Yayan Hikmayani menyampaikan bahwa ATSEA-2 telah menjadi katalisator bagi pengelolaan perikanan, perlindungan ekosistem laut, dan mitigasi perubahan iklim di kawasan Laut Arafura dan Laut Timor.

“Proyek ini sejalan dengan Kebijakan Ekonomi Biru Indonesia dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Upaya ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara negara-negara ATS untuk menciptakan Laut Arafura dan Timor yang sehat, tangguh, dan produktif," kata Yayan, dalam keterangan di Jakarta, Jumat (27/12/2024).

Pihaknya pun menilai, Program ATSEA-2 telah memberikan dampak nyata, baik dalam melindungi ekosistem maupun memperkuat kapasitas masyarakat pesisir.

"Dengan berakhirnya Proyek ATSEA-2 di bulan Desember 2024 ini, dan sebagaimana hasil dari Sydney Declaration yang telah dihadiri langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang berakhir hanyalah fasenya. ATSEA masih akan tetap berjalan dan telah bertransformasi menjadi sebuah program dan memiliki mekanisme Tata Kelola regional," ucap Yayan.

Adapun Programme Manager Nature Climate Energy UNDP, Iwan Kurniawan mengungkapkan bahwa pihaknya terus membawa keahlian dalam mengintegrasikan konservasi dan pembangunan melalui jaringan global serta mekanisme pembiayaan inovatif, termasuk mendukung pengembangan perdagangan karbon biru berbasis mangrove dan lamun.

"Bersama pemerintah, UNDP siap memobilisasi panduan strategis dan keahlian teknis untuk pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan. UNDP juga membuka peluang kolaborasi dengan sektor swasta untuk investasi dalam solusi berbasis alam," jelas Iwan.

"Melalui hasil Proyek ATSEA, UNDP juga mengajak semua pihak mengoptimalkan potensi ekonomi biru dan perdagangan karbon biru guna mendorong pembangunan berkelanjutan, memperkuat mata pencaharian, dan menjadikan kawasan ini pemimpin global dalam aksi iklim dan konservasi laut," lanjutnya.

"Harapannya, program ATSEA-3 dapat berjalan lebih baik, dan berbagai 'pekerjaan rumah' yang ada dapat diselesaikan melalui program ini. Jika masyarakat pesisir sejahtera, itu menjadi indikator bahwa program ini memberikan manfaat nyata bagi ekosistem dan masyarakat terkait," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro.

 

Capaian ATSEA-2 Selama 5 Tahun

Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN
Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN. (Gambar oleh Thuận Tiện Nguyễn dari Pixabay )

Selama lima tahun implementasinya, ATSEA-2 telah berhasil mencatat sejumlah capaian dalam menjaga ekosistem laut dan masyarakat pesisir, sekaligus mendukung visi Ekonomi Biru yang berkelanjutan.

Terkait konservasi dan restorasi ekosistem, program ini menetapkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Kolepom di Papua Selatan dengan luas mencapai 356.337 hektar.

Selain itu, pengelolaan KKP Aru Tenggara berhasil ditingkatkan secara signifikan, mencapai skor EVIKA 72,47 persen pada tahun 2023.

Selanjutnya, di bidang pengelolaan perikanan berkelanjutan, ATSEA-2 memperkenalkan pendekatan berbasis ekosistem (EAFM) untuk mengelola spesies penting seperti kakap merah, barramundi, dan udang di Laut Arafura.

Program ini memberikan pelatihan pada 138 nelayan dalam penggunaan e-logbook perikanan, sebuah teknologi digital untuk memantau hasil tangkapan, guna meningkatkan transparansi dan akurasi data perikanan.

Pemberdayaan masyarakat pesisir juga menjadi fokus utama. Kelompok perempuan di NTT dan Papua Selatan kini memiliki sumber pendapatan baru melalui produksi minyak kelapa murni (VCO), sabun rumput laut, dan berbagai produk berbasis ikan.

Upaya ini didukung oleh restorasi ekosistem pesisir, termasuk penanaman mangrove dan rehabilitasi terumbu karang yang menjadi habitat penting bagi keanekaragaman hayati laut.

Kemudian dalam pengelolaan polusi laut, ATSEA-2 mengambil langkah preventif dengan menerapkan sistem peringatan dini untuk tumpahan minyak di NTT dan menyusun rencana kontingensi polusi laut, memastikan bahwa dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan secara cepat dan efektif.

 

Menanti Proyek Baru ATSEA-3

Bendera negara anggota ASEAN (Wikimedia Commons)
Bendera negara anggota ASEAN (Wikimedia Commons)

Dengan berakhirnya proyek ATSEA-2, ATSEA-3 akan difokuskan pada keberlanjutan dan dukungan mekanisme tata kelola regional.

"Sinergi dan kolaborasi lintas negara menjadi fondasi keberhasilan kita. Bersama, kita wujudkan ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia dan alam," tutup Yayan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya