Liputan6.com, Jakarta Rupiah melanjutkan posisi menguat pada Rabu, 22 Januari 2025. Rupiah ditutup menguat 63 point terhadap Dolar AS (USD), setelah sebelumnya sempat menguat 65 point di level Rp.16.279 dari penutupan sebelumnya di level Rp.16.343.
Analis mata uang, Ibrahim Assuaibi memperkirakan kurs Rupiah tetap fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp. 16.220 - Rp.16.290, pada perdagangan Kamis besok (23/1).
Advertisement
Baca Juga
“Pasar berhati-hati setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan prospek peningkatan tarif perdagangan paling cepat pada bulan Februari,” kata Ibrahim dalam keterangan di Jakarta, Rabu (22/1/2025).
Advertisement
Seperti diketahui, Trump telah mengumumkan ia mempertimbangkan tarif impor sebesar 10% pada impor dari China, karena kekhawatiran atas aliran obat-obatan terlarang, khususnya fentanil, dari China ke Meksiko dan Kanada, hingga ke AS.
Trump sebelumnya juga mengungkapkan akan mengenakan tarif impor 25% pada Kanada dan Meksiko mulai bulan Februari mendatang. “Meskipun pasar awalnya melihat sedikit kelegaan dari Trump yang tidak mengenakan tarif apa pun pada hari pertama masa jabatannya, komentarnya pada hari Selasa membuat kekhawatiran akan perang dagang tetap ada,” papar Ibrahim.
“Namun, ancaman tarif 10% Trump terhadap China jauh lebih rendah daripada 60% yang ia ancam selama kampanyenya. China juga diperkirakan akan merilis lebih banyak langkah stimulus dalam menghadapi hambatan perdagangan AS,” imbuhnya.
Selain itu, Donald Trump juga mengumumkan keadaan darurat nasional untuk meningkatkan produksi energi AS secara signifikan, salah satu langkah pertamanya setelah menjabat.
Perintah Eksekutif Trump
Presiden AS yang memasuki jabatan kedua tersebut juga menandatangani perintah eksekutif yang memungkinkan lebih banyak produksi dari produsen dalam negeri, serta mengurangi kebijakan perubahan iklim yang diberlakukan oleh pemerintahan Biden yang akan berakhir.
Trump juga mengatakan AS akan menarik diri dari perjanjian iklim Paris. Sementara itu, di Asia Diplomat mata uang utama Jepang Atsushi Mimura mengatakan dalam acara Reuters NEXT Newsmaker bahwa Yen yang lemah akan meningkatkan inflasi dengan meningkatkan biaya impor.
Mimura dalam pernyataannya mengatakan pemerintah dan bank sentral berkomunikasi erat setiap hari melalui berbagai saluran. Pasar memperkirakan peluang kenaikan seperempat poin sebesar 86,2%.
Advertisement
Donald Trump Tolak Kesepakatan Pajak Global OECD
Sebelumnya, Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump resmi mengungkapkan Kesepakatan Pajak Global yang diinisiasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tidak berlaku di negara tersebut.
Dalam sebuah memorandum yang dirilis Gedung Putih kepada Menteri Keuangan, Perwakilan Dagang AS, dan Perwakilan Tetap AS untuk OECD, Pemerintah AS menyampaikan Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan atau pengaruh di AS tanpa adanya tindakan oleh Kongres.
"Menteri Keuangan dan Perwakilan Tetap Amerika Serikat untuk OECD harus memberi tahu OECD bahwa setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat sehubungan dengan Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan atau pengaruh di Amerika Serikat tanpa adanya tindakan oleh Kongres yang mengadopsi ketentuan yang relevan dari Kesepakatan Pajak Global,” tulis memorandum tersebut, dikutip dari laman resmi Gedung Putih.
Kebijakan Pajak
Disebutkan juga, kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya dianggap membatasi kebijakan pajak nasional dan memberikan yurisdiksi eksternal atas pendapatan perusahaan lokal AS.
"Kesepakatan Pajak Global OECD yang didukung oleh pemerintahan sebelumnya tidak hanya mengizinkan yurisdiksi ekstrateritorial atas pendapatan Amerika, tetapi juga membatasi kemampuan Negara kita untuk memberlakukan kebijakan pajak yang melayani kepentingan bisnis dan pekerja Amerika," terang Gedung Putih.
"Karena Kesepakatan Pajak Global dan praktik pajak asing diskriminatif lainnya, perusahaan Amerika mungkin menghadapi rezim pajak internasional pembalasan jika Amerika Serikat tidak mematuhi tujuan kebijakan pajak asing,” lanjutnya.
Dengan demikian, pemerintah AS mendorong penyelidikan terhadap negara-negara yang kemungkinan melanggar perjanjian pajak dengan negara tersebut, atau memiliki kebijakan pajak yang bersifat diskriminatif terhadap perusahaan AS.
Advertisement