Perang AI: Persaingan Ketat AS-China hingga Ancaman PHK Massal

Persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) semakin memanas.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 07 Feb 2025, 16:50 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2025, 16:50 WIB
Ilsutrasi bendera China dan Amerika Serikat (AP/Andy Wong)
Ilsutrasi bendera China dan Amerika Serikat (AP/Andy Wong)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI) semakin memanas. Menurut pengamat digital Firman Kurniawan, kedua negara ini memiliki strategi masing-masing dalam upaya mendominasi industri AI yang berpotensi memberikan keuntungan ekonomi tinggi.

"Saat ini, AS masih mendominasi industri AI melalui perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Google. Dengan inovasi mereka, AS mampu menguasai pasar dan mendapatkan sumbangan ekonomi yang signifikan dari sektor ini," ujar Firman kepada Liputan6.com, Jumat (7/2/2025).

Namun, China tidak tinggal diam, Pemerintah dan industri teknologi di negeri Tirai Bambu berusaha mengembangkan AI sebagai strategi untuk menyaingi dominasi AS. 

Pada periode pertama kepresidenan Donald Trump, terlihat jelas upaya AS untuk membatasi laju perkembangan teknologi AI China dengan cara membatasi distribusi perangkat keras, seperti microchip, yang sangat dibutuhkan oleh industri teknologi Cihna.

"Ketika pasokan microchip dari AS dibatasi, China tidak kehilangan kreativitasnya. Mereka memanfaatkan microchip dengan kemampuan terbatas dan berhasil mengembangkan AI yang lebih unggul," tambah Firman.

Kemunculan DeepSeek

Sebagai contoh, China kini telah menghadirkan DeepSeek, sebuah sistem AI yang menggunakan microchip dengan spesifikasi lebih rendah dibandingkan microchip buatan AS. 

Namun, berkat efisiensi sistemnya, DeepSeek mampu menghasilkan performa yang luar biasa. Keberhasilan ini bahkan mengguncang pasar saham Nvidia, salah satu produsen chip AI terbesar di dunia, karena produk China tersebut menawarkan solusi AI dengan harga lebih murah namun memiliki performa yang setara.

"Bayangkan, jika produk terbaru iPhone dijual seharga Rp 30 juta, maka China bisa menciptakan produk sejenis dengan kemampuan yang sama hanya dengan harga Rp 900 ribu. Hal inilah yang membuat banyak negara, termasuk yang ingin mengembangkan AI, lebih memilih produk dari China dibandingkan dari AS," jelas Firman.

Persaingan ini bukan hanya antara AS dan China. Negara-negara lain seperti Inggris, Jerman, Italia, dan India juga berupaya menjadi produsen AI, bukan sekadar pasar bagi teknologi dari AS dan China. Mereka ingin menciptakan teknologi AI sendiri untuk memastikan tidak bergantung pada kedua negara raksasa tersebut.

 

PHK Massal: Dampak Tak Terhindarkan dari AI

DeepSeek. Liputan6.com/Iskandar
DeepSeek. Liputan6.com/Iskandar... Selengkapnya

Di sisi lain, perkembangan AI yang semakin canggih membawa dampak besar terhadap ketenagakerjaan. Firman Kurniawan menyoroti bahwa banyak perusahaan, terutama di sektor teknologi, mulai menggantikan tenaga manusia dengan AI karena dianggap lebih efisien dan ekonomis.

"CEO dan pemilik modal lebih memilih AI karena lebih mudah dalam pemeliharaan dibandingkan dengan tenaga kerja manusia yang memiliki banyak hak yang harus dipenuhi, seperti asuransi dan jaminan hari tua," ujar Firman.

Hal ini sudah mulai terlihat di perusahaan-perusahaan besar seperti Google, Spotify, dan beberapa media global yang telah mengandalkan AI untuk mengoptimalkan proses bisnis mereka. 

Ketika dominasi pasar mereka mulai stagnan, perusahaan-perusahaan ini mencari cara untuk meningkatkan keuntungan dengan mengurangi jumlah karyawan dan menggantinya dengan teknologi AI.

"AI memungkinkan perusahaan melakukan perhitungan efisiensi yang lebih baik. Misalnya, satu perangkat AI bisa menggantikan pekerjaan beberapa orang. Amazon, misalnya, sudah menggantikan puluhan ribu pekerja dengan AI. Memang, biaya awal untuk instalasi AI cukup mahal, tetapi dalam waktu 2-3 tahun, investasi tersebut sudah kembali dan mulai menghasilkan keuntungan besar," ungkap Firman.

 

Dampak Global

Ilustrasi Artificial Intelligence.
Ilustrasi Artificial Intelligence. (Dok. tungnguyen0905/Pixabay)... Selengkapnya

Dampak dari otomatisasi ini tentu menjadi perhatian bagi tenaga kerja global. Jika tren ini terus berlanjut, maka kemungkinan besar akan terjadi gelombang PHK massal di berbagai sektor industri.

"AI telah menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Namun, di sisi lain, hal ini juga menciptakan tantangan besar bagi tenaga kerja manusia yang harus beradaptasi atau bahkan kehilangan pekerjaan mereka," pungkas Firman.

Persaingan AI antara AS dan Cina serta dampak AI terhadap ketenagakerjaan masih akan terus berkembang. Negara-negara lain yang ingin masuk ke dalam industri ini harus bersiap menghadapi perubahan besar dalam lanskap teknologi dan ekonomi global.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya