Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menjelaskan, Pengadilan Negeri Kelas II Cikarang salah dalam memutuskan eksekusi penggusuran lima rumah warga di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Menurut Nusron Wahid, kelima rumah tersebut berada di luar lahan milik seorang bernama Kayat dengan nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) 706.
Advertisement
Baca Juga
Kelima rumah warga itu kini telah rata dengan tanah meski berada di luar obyek lahan yang disengketakan penggugat bernama Mimi Jamilah pada 1996.
Advertisement
"Kalau dilihat dari data, ini di luar tanah yang disengketakan, setelah kami cek," kata Nusron dikutip dari Antara, Sabtu (8/2/2025).
Kelima rumah salah gusur tersebut milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR), berlokasi di Kampung Bulu, Jalan Bekasi Timur Permai, RT 1/RW 11, Desa Setia Mekar.
Nusron menyebutkan berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, kelima rumah tersebut berada di luar lahan milik seorang bernama Kayat dengan nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) 706.
Bidang lahan 706 diketahui berasal dari lahan induk seluas 3,6 hektare dengan sertifikat bernomor 325 yang digugat oleh Mimi Jamilah.
"Menurut data yang dimiliki kita, itu ya di luar SHM 706," katanya.
Menurut dia kesalahan penggusuran tersebut karena pengadilan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi putusan.
"Sampai penggusuran belum ada pemberitahuan, pelibatan dan belum ada permintaan penggusuran," kata Nusron.
Asal Muasal Kasus
Seperti diketahui, sebanyak lima rumah di Desa Setia Mekar dieksekusi penggusuran hingga rata dengan tanah meski berada di luar objek sengketa padahal memiliki bukti kepemilikan secara sah. Kelima rumah warga tersebut diketahui milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR). Kelimanya mempunyai dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang mereka dirikan bangunan rumah.
Nusron mengungkapkan, ada sejumlah tahapan yang tidak dijalankan pengadilan menyangkut eksekusi di wilayah Tambun Selatan di antaranya mereka tidak mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi sebelum melakukan eksekusi.
Pengajuan ini merujuk amar putusan gugatan yang ternyata tidak menyertakan perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah.
Nusron menegaskan pengadilan harus mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN sebelum sita eksekusi dilakukan mengingat tidak menyertakan amar putusan dimaksud.
"Di dalam amar putusan itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat. Harusnya ada perintah dulu," katanya.
Advertisement
Tiga Hal yang Tidak Dilakukan Pengadilan
Kemudian pengadilan juga berkewajiban mengirim surat permohonan kepada BPN wilayah setempat untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan disita guna mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.
Pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan eksekusi. Dari seluruh proses tersebut, Nusron memastikan tidak ada satu pun tahapan yang dilalui oleh pengadilan ketika eksekusi dilakukan.
"Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan," ucap dia.
Diketahui eksekusi lima rumah warga di wilayah dimaksud dilakukan pada 30 Januari 2025, merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 335 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.
Persoalan tanah ini semakin kompleks karena sertifikat hak milik tanah seluas total 3,6 hektare itu berganti-ganti kepemilikan. Semula dimiliki Djuju, kemudian dijual ke Abdul Hamid.
Berulang Kali Ganti Pemilik
Abdul Hamid ternyata justru menjual kembali lahan tersebut kepada Kayat dan Kayat memecah sertifikat tersebut menjadi empat bidang dengan nomor SHM 704, 705, 706 dan 707.
Kayat kemudian melepas dengan SHM nomor 704 dan 705 ke Toenggoel Paraon Siagian. Sedangkan SHM 706 dan 707 dijual secara acak.
Setelah berulang kali berganti nama pemilik, Mimi kemudian menggugat semua pemilik. Dari gugatan ini diketahui bahwa transaksi jual beli lahan antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah.
Djuju membatalkan sepihak jual beli lahan setelah Abdul Hamid gagal membayar keseluruhan nilai lahan. Gugatan yang diajukan Mimi bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid.
Pada tahun 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 ke Bari setelah mengetahui pihak Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada 2018.
Dari pembelian lahan ini, nama pemilik SHM 705 berganti dari Toenggoel menjadi atas nama Bari. Pembelian ini yang kemudian menghasilkan bangunan yang kini berdiri sebagai perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2.
Selain cluster, terdapat pula tiga bidang tanah lain yang dieksekusi pengadilan, antara lain SHM dengan nomor 704, 706, dan 707.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)