Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksinya terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia untuk tahun 2025.
Melansir CNBC International, Rabu (23/4/2025) IMF memangkas proyeksi Asia karena ketegangan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan ekonomi.
Advertisement
Baca Juga
IMF memangkas proyeksi PDB 2025 untuk Tiongkok dan India menjadi masing-masing 4% dan 6,2%, turun dari perkiraannya pada Januari 2025 masing-masing sebesar 4,6% dan 6,5%.
Advertisement
Sementara itu, target pertumbuhan PDB resmi Tiongkok ditetapkan sekitar 5% untuk tahun 2025, dan India menargetkan pertumbuhan 6,5% untuk tahun fiskal 2025 yang berjalan dari April 2025 hingga Maret 2026.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Jepang menjadi hanya 0,6% dari 1,1%.
Jepang sendiri memiliki proyeksi pertumbuhan sebesar 1,1% untuk tahun fiskal 2025, yang juga berlangsung dari April 2025 hingga Maret 2026.
Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Global
Di tingkat global, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 2,8% dari 3,3% untuk keseluruhan tahun 2025.
IMF menjelaskan, kebijakan tarif impor AS terhadap mitra dagangnya berisiko menimbulkan guncangan negatif yang besar terhadap pertumbuhan.
“Ktidakpastian yang menyertai langkah-langkah ini juga berdampak negatif pada aktivitas ekonomi dan prospek", jelas IMF.
Prakiraan IMF muncul di tengah tren yang lebih luas dari perusahaan riset dan bank yang memangkas prakiraan pertumbuhan untuk ekonomi Asia.
Pada awal April 2025, ekonom Goldman Sachs menurunkan prakiraan untuk produk domestik bruto Tiongkok tahun ini menjadi 4,0% dari 4,5%. Penurunan ini terkait dengan dampak dari peningkatan tarif AS pada barang-barang Tiongkok.
Natixis juga memangkas perkiraan PDB Tiongkok menjadi 4,2% tahun ini, turun dari 4,7% sebelumnya.
Fitch Ikut Pangkas Proyeksi Ekonomi Tiongkok dan India
Adapun Fitch yang juga dilaporkan memangkas perkiraan pertumbuhan India menjadi 6,2% dari 6,3%, karena memburuknya lingkungan ekonomi global yang disebabkan oleh perang dagang AS-Tiongkok yang semakin memanas.
Sejak menjabat pada 20 Januari 2025, Presiden AS Donald Trump telah mengenakan tarif impor baja, aluminium, dan mobil, sebelum mengumumkan tarif "timbal balik" besar-besaran pada hampir setiap negara di dunia pada 2 April 2025.
Hampir seminggu kemudian, ia menangguhkan tarif "timbal balik" ini, hanya menyisakan bea masuk dasar sebesar 10% pada semua negara kecuali Tiongkok.
Setelah pertikaian tarif yang saling berbalas, bea masuk AS pada Tiongkok sekarang mencapai 245% pada beberapa barang.
Sementara Tiongkok telah mengenakan bea masuk sebesar 125% pada impor AS, dengan janji untuk "berjuang sampai akhir."
Sebaliknya, Jepang dan India telah mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Trump, dengan Jepang mengirimkan delegasi perdagangan untuk berbicara dengan mitra mereka di AS.
Advertisement
Mulai Kena Dampak Tarif, Ekspor Korea Selatan ke AS Menyusut
Sejumlah negara mengungkapkan telah melihat dampak ekonomi dari kebijakan tarif impor baru pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Melansir CNN, Layanan Bea Cukai Korea Selatan melaporkan bahwa ekspor negara ktu selama 20 hari pertama bulan April menurun sebesar 5,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“(Data tunggal) itu adalah petunjuk utama untuk arah perdagangan,” umgkap Min Joo Kang, ekonom senior di ING dalam sebuah catatan.
Penurunan ekspor terjadi setelah Trump memberlakukan tarif 25% untuk semua impor aluminium, baja, dan mobil. Semua impor Korea Selatan lainnya juga sempat dikenakan tarif timbal balik sebesar 25% sebelum Trump memutuskan penundaan hingga Juli mendatang. Adapun impor umum barang Korea Selatan ke AS dikenakan tarif 10%.
Pengiriman mobil dan baja Korea ke AS juga menurun masing-masing 6,5% dan 8,7% secara tahunan selama 20 hari pertama bulan April.
Secara keseluruhan, ekspor dari Korea Selatan ke AS turun 14,3% dari tahun lalu.
Sementara produk semikonduktor Korea tetap dikecualikan dari tarif AS, tetapi Trump mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menerapkan tarif setinggi 25% pada produk tersebut.
“(Data dari Korea Selatan) menunjukkan bahwa tarif AS mempersulit dinamika perdagangan global," kata Kang.
