Liputan6.com, Jakarta - Namanya Michael Soto. Dia bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang remaja 16 tahun dari California. Tak banyak orang mengenalnya. Dia bukan pesohor, apalagi di dunia maya.
Baca Juga
- Disindir, Rossi-Lorenzo Akhirnya Hadiri Rapat Pembalap MotoGP
- Bintang Timnas Prancis Bikin MU dan Mourinho Gigit Jari
- 10 Fakta Jarang Terungkap di Penyisihan Grup Piala Eropa 2016
Tengok saja follower akun Twitter-nya yang hanya 700.Namun, Rabu, 22 Juni lalu, tiba-tiba saja namanya menghiasi banyak media massa dan media sosial. Soto menjadi buah bibir karena tingkah gilanya saat laga semifinal Copa America di Houston antara Amerika Serikat dan Argentina. Follower-nya pun melonjak jadi lebih dari 2.500.
Sesaat sebelum wasit Enrique Caceres memulai babak kedua, Soto melompat dari tribun penonton. Dia berlari ke arah Lionel Messi. Begitu tiba di depan sang bintang, dia meminta jersey Argentina yang dipakainya dibubuhi tanda tangan. Setelah itu, dua kali dia menjura seperti tengah berada di depan raja atau bahkan dewa. Sebagai penutup, dia dua kali pula memeluk sang idola.
Meski harus digelandang pihak keamanan dan mendekam beberapa saat di tahanan, Soto girang tak kepalang. Meminta tanda tangan, menjura, dan memeluk Messi adalah impian terbesarnya. Dia sudah merencanakan secara matang aksinya di Houston tersebut.
Di Twitter, dia mengungkapkan persiapan dan perasaannya. Lalu, dia pun meminta seorang teman untuk menyiarkan langsung aksinya lewat periscope. Di dada dan perutnya, Soto juga menuliskan akun Twitternya. Begitu usai mewujudkan mimpinya, dia membuka baju dan memperlihatkan tulisan akun Twitter-nya itu. Di bionya, kini Soto mencantumkan nomor kontak bagi media yang ingin menghubunginya.
Aksi Soto bukan hal mudah. Demi mewujudkan mimpi, dia harus mengatasi rasa takut yang luar biasa. Bagaimanapun, keselamatannya bisa terancam karena pihak keamanan tak akan mau mengambil risiko dan berkompromi terhadap aksi gilanya. Namun, demi sebuah mimpi, dia harus melawan itu semua dan tentu saja membuat perhitungan matang.
“Lebih sulit dari yang kuperkirakan. Aku tegang. Tapi, aku tetap akan melakukannya,” kicau Soto di Twitter-nya sebelum beraksi. “Aku melihat ruang yang bisa kumanfaatkan. Aku harus menunggu. Ada banyak petugas keamanan.”
Rindu Piala Dunia
Impian bukan hanya milik striker tim amatir Temescal Canyon California tersebut. Sang idola, Messi, pun begitu. Kepada Sport Illustrated sebulan silam, La Pulga mengutarakan impian besarnya.
“Di luar keluarga, tak ada hal yang bisa membuatku lebih bahagia selain menjuarai Piala Dunia 2018 bersama Argentina. Copa America pada musim panas ini adalah langkah penting menuju ke sana. Itu adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kami mampu merebut trofi setelah 23 tahun lamanya,” ujar Messi.
Pada Januari lalu, La Pulga bahkan mengungkapkan, siap menukar Ballon d'Or dengan trofi Piala Dunia. “Tentu saja aku lebih memilih juara Piala Dunia. Aku selalu mengatakan, prestasi tim lebih penting dari pencapaian-pencapaian individual. Piala Dunia adalah prestasi tertinggi yang bisa diraih seorang pemain,” papar La Pulga.
Hingga saat ini, prestasi bersama Tim Tango hanya didapatkan Messi di tingkat junior. Dia juara Piala Dunia Junior 2005 dan merebut medali emas Olimpiade 2008. Adapun bersama timnas senior, belum satu pun trofi yang berhasil diraihnya.
Dua tahun terakhir, kegagalan didapatkan di partai puncak. Di Brasil, dua tahun silam, Argentina ditekuk Jerman dalam laga final Piala Dunia. Tahun lalu, giliran Cile yang mencegah Messi juara Copa America.
Advertisement
Tak bisa disangkal, kegagalan bersama Argentina itu membuat Messi belum paripurna. Tak heran pula bila masih ada yang menganggap Pele dan Diego Maradona masih lebih baik darinya. Ukurannya, Pele dan Maradona pernah mencecap manisnya juara Piala Dunia. Pele bahkan tiga kali merasakannya.
Kegagalan demi kegagalan itu pun sempat membuat Messi dibenci orang-orang Argentina. Cacian dan makian terarah kepadanya. Mereka menilai Messi hanya bagus saat membela panji Barcelona. Namun, begitu mengenakan jersey Tim Tango, dia seperti Samson yang dicukur rambutnya. Sentuhan-sentuhan ajaibnya menguap begitu saja.
Tekanan fans dan media massa yang luar biasa itu sempat membuat Messi frustrasi. Terutama usai kegagalan di Copa America 2011 di kandang sendiri. Messi sempat berpikir untuk tak lagi membela timnas Argentina. Itu tertuang jelas dalam biografinya, Messi, yang ditulis Guillem Balague.
“Beberapa pekan setelah Copa America 2011, dia benar-benar mempertimbangkan untuk tak kembali ke timnas. Tapi, seiring berlalunya waktu, dia sampai pada simpulan yang sama: dia harus menerimanya, harus belajar menerima hal tersebut. Itu adalah harga yang harus dibayar karena dia adalah yang terbaik,” urai Balague.
Gelar Pembeda
Copa America boleh-boleh saja hanya sasaran antara. Namun, tetap saja ajang ini tak kalah penting bagi La Pulga. Sudah 23 tahun lamanya Argentina tak menjadi yang terbaik di Benua Amerika. Dalam delapan gelaran sejak terakhir kali juara pada 1993, prestasi terbaik Tim Tango hanyalah menjadi finalis pada 2004, 2007, dan 2015.
Bagi para penggila bola di Argentina, penantian itu terasa berlipat-lipat. Pasalnya, ada harapan yang begitu membuncah sejak Messi datang dan tampil untuk kali pertama pada 2007. Mereka yakin, Messi adalah sosok bertangan emas.
Bersama Messi, tak akan sulit bagi Tim Tango untuk sekadar menjuarai Copa America. Namun, faktanya, dalam tiga edisi tampil bersama Messi, gelar juara tetap hanya angan semata.
Secara pribadi, bagi Messi, gelar juara pada perhelatan kali ini akan menjadi pembeda dengan para legenda lain dari Benua Amerika. Terutama Pele dan Maradona. Keduanya memang pernah juara Piala Dunia, namun di Copa America, tak ada cerita manis keduanya. Dalam satu-satunya Copa America yang diikutinya pada 1959, Pele hanya jadi runner-up. Adapun prestasi tertinggi Maradona yang tampil di Copa America 1979, 1987, dan 1989 hanyalah peringkat ketiga.
Messi punya modal lebih dari cukup untuk mengakhiri penantiannya di Stadion MetLife, East Rutherford, New Jersey, 27 Juni nanti. Saat ini, dia dalam performa terbaik. Sejak turun sebagai pengganti pada laga kontra Panama, Messi menunjukkan dirinya sebagai the main man. Bukan hanya mencetak hat-trick, dia diakui pelatih Gerardo Martino mengubah permainan secara keseluruhan. Dalam tiga laga berikutnya, Messi membuat dua gol dan empat assist.
Bahkan, gol melalui eksekusi tendangan bebas luar biasa ke gawang Amerika Serikat, menjadikan Messi pencetak gol terbanyak di timnas Argentina. Dia melewati koleksi 54 gol milik Gabriel Batistuta. Lain dari itu, peluang La Pulga menjadi pemain tersubur di Copa America Centenario juga terbuka karena hanya berselisih satu gol dari Eduardo Vargas.
Menghadapi Cile di final nanti, setidaknya ada dua motivasi lain La Pulga. Pertama, tentulah membalas kekalahan di final tahun lalu. Kedua, membuktikan ungkapan “third time’s a charm”. Setelah gagal di final pada 2007 dan 2015, kesempatan ketiga haruslah berakhir indah.
Cile sekarang pun berbeda dengan tahun lalu. Setidaknya, karena bukan tuan rumah, Cile kali ini tak akan mendapat dukungan berlimpah dari para penonton di stadion. Cile juga tak bisa berbuat banyak dan kalah 1-2 dalam pertemuan pada fase grup, 7 Juni lalu. Padahal, Tim Tango tak diperkuat Messi dalam laga itu.
Kini, dengan Messi yang tengah menggila, sepertinya tak ada impian yang terlalu besar untuk diraih. Tak terkecuali mengakhiri puasa gelar 23 tahun Argentina di Copa America dengan menggasak Cile.
Apalagi di Stadion MetLife, Argentina selalu digdaya. Pada 2012, mereka mengalahkan Brasil 4-3. Lalu, tahun lalu, giliran Ekuador yang dibekap 2-1. Jikapun ada yang mungkin menggagalkan misi Messi kali ini, sepertinya itu hanyalah ketidakberpihakan Fortuna, sang dewi keberuntungan.
*Penulis adalah jurnalis, pengamat sepakbola dan komentator. Komentari kolom ini @seppginz.
Advertisement