Masyarakat Lebih Mudah Terpengaruh Hoaks, Simak Penjelasan dari Sisi Psikologi

Dosen President University, Haris Herdiansyah, mengutip salah satu teori psikoanalisis yang dapat menjelaskan alasan mengapa hoaks lebih mudah diterima oleh masyarakat.

oleh Rida Rasidi diperbarui 26 Okt 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2023, 19:00 WIB
Webinar AJI Indonesia dan Google News Initiative
Dosen President University, Haris Herdiansyah, dalam Webinar bertajuk "Memahami Fenomena Misinformasi dan Disinformasi dari Perspektif Psikologi", yang diadakan oleh AJI Indonesia dan Google News Initiative, Selasa (24/10). (Liputan6.com / Rida Rasidi)

Liputan6.com, Jakarta - Hoaks menjadi salah satu masalah di tengah masyarakat, khususnya pada perkembangan platform media sosial. Pasalnya, informasi palsu tersebut dapat mempengaruhi seorang atau kelompok ke arah hal yang negatif.

Dosen President University, Haris Herdiansyah, menjelaskan teori psikoanalisis yang dicetuskan oleh Sigmund Freud, dan hubungannya dengan sikap individu dalam menghadapi hoaks.

Haris mengutip salah satu teori psikoanalisis yang menyebutkan bahwa seorang individu yang mudah terpancing secara emosi pada topik-topik tertentu, pasti memiliki sesuatu yang memicu emosi tersebut di alam bawah sadarnya. Freud menganalogikan fenomena ini sebagai kepingan puzzle yang menunggu dan siap menyambut kepingan puzzle lainnya.

"Teori ini membuka jendela ke pemahaman mengapa hoaks sering kali lebih mudah diterima dan memengaruhi manusia dibandingkan data dan informasi yang valid," kata Haris dalam webinar yang diadakan oleh AJI Indonesia dan Google News Initiative (GNI), Selasa (24/10/2023). 

Ketika ada informasi yang berkaitan dengan sentimen atau emosi yang sudah ada dalam diri seseorang, informasi tersebut secara efektif dapat “menghidupkan” potongan puzzle yang sudah ada di alam bawah sadar.

Kepingan puzzle yang ada di alam bawah sadar seseorang didapat dari berbagai macam situasi, seperti pengalaman pribadi, pembelajaran dari orang lain, ingatan masa lalu, hingga pengalaman traumatis. 

Haris menjadikan konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina saat ini sebagai contoh. Dengan cerita-cerita masa lalu, faktor agama, dan sejarah yang kita telah ketahui, telah menciptakan keberpihakan kepada golongan tertentu. Saat ada informasi baru tentang konflik tersebut, reaksi emosional dapat terpicu karena potongan puzzle di alam bawah sadar individu siap untuk dicocokkan.

“Misalnya, konflik Israel dan Palestina saat ini, kita sudah punya benih-benih keberpihakan kepada golongan tertentu dari cerita-cerita masa lalu, agama, dan aspek historisnya. Nah ketika muncul lagi informasi terbaru, mudah bagi kita untuk bereaksi. Karena sudah ada receiver atau penerimanya di alam bawah sadar kita,” katanya menjelaskan.

Analogi Fenomena Gunung Es

Fenomena Gunung Es
Pemaparan Analogi Fenomena Gunung Es oleh Haris Herdiansyah dalam Webinar bertajuk "Memahami Fenomena Misinformasi dan Disinformasi dari Perspektif Psikologi", yang diadakan oleh AJI Indonesia dan Google News Initiative, Selasa (24/10). (Liputan6.com / Rida Rasidi)

Freud menggambarkan jiwa manusia sebagai gunung es, di mana bagian teratas adalah ego atau pikiran sadar kita. Sedangkan, bagian dengan proporsi lebih besar berada di bawah air dan berisi alam bawah sadar kita. Bagian ini menyimpan informasi dari pengalaman pribadi, pembelajaran, ingatan masa lalu, pengalaman traumatis, dan sebagainya yang semuanya memiliki intensitas emosi.

Kedua bagian tersebut dipisahkan oleh katup pra-sadar. Ketika membaca informasi, katup pra-sadar cenderung lebih mudah terbuka. Hal tersebut bisa terjadi jika informasi tersebut memiliki kesamaan dengan kepingan puzzle yang sudah kita miliki. Akibatnya, informasi tersebut dapat langsung memengaruhi emosi kita, tanpa memverifikasi kebenarannya.

Bagian teratas gunung es berisi edukasi, literasi media dan digital, serta metode konfirmasi. Area ini berperan penting dalam membantu kita berpikir secara logis dan rasional.

Dengan edukasi yang mumpuni di bagian tersebut, kita dapat lebih selektif dalam menerima dan menolak informasi, termasuk hoaks.

Sayangnya, tidak semua individu memiliki edukasi yang cukup untuk menyadarkan mereka dari informasi hoaks. Sebagai hasilnya, mereka tidak punya tools untuk menyaring sehingga seluruh informasi langsung masuk ke dalam alam bawah sadar mereka. Inilah mengapa hoaks lebih mudah diterima dan dipercayai oleh orang-orang.

 

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya