Duo Jazz Peirani-Parisien, Menyampaikan Musik dari Hati ke Hati

Duo musisi ini menghadirkan musik yang indah, sekaligus jujur dan menyentuh

oleh Sulung Lahitani diperbarui 23 Sep 2015, 18:04 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2015, 18:04 WIB
Duo Jazz Peirani-Parisien, Menyampaikan Musik dari Hati ke Hati
Duo musisi ini menghadirkan musik yang indah, sekaligus jujur dan menyentuh

Citizen6, Jakarta Tak banyak musisi yang mampu mengawinkan dua alat musik berbeda dalam satu konser tunggal. Namun Vincent Peirani dan Emile Parisien membuktikan kalau mereka berbeda. Vincent Peirani memilih memainkan akordeon, sedangkan rekannya, Emile Parisien, lebih nyaman meniup saksofon.

Kedua musisi ini menampilkan dialog musik dengan komposisi musik yang unik di tur Duo Jazznya di Indonesia. Salah satunya bertempat di Auditorium Institut Prancis Indonesia (IFI), Selasa (22/09). Musik jazz lawas seperti Sydney Bechet, Henry Lodge, Irving Milis, dan lainnya, mereka kawinkan dengan sentuhan modern. Hasilnya? Memukau!

Peirani dan Parisien membawakan lagu-lagu dari album jazz duo mereka, Belle Epoque. Album yang dipuji oleh para kritikus Prancis dan Internasional.

Pertama kali mendengar alunan dari kedua alat musik yang mereka mainkan, imaji langsung melayang ke ranah pedesaan di Prancis. Bagi yang suka menonton film-film Prancis, pasti tak asing dengan nada pada lagu pertama mereka. Begitu familiar, seperti mendengar lagu balonku.

- 

Peirani memainkan akordeonnya dengan penuh semangat. Menghentak, kadang seperti keluar jalur. Memancarkan semangat anak muda yang menggebu. Hal tersebut justru diimbangi dengan baik oleh Parisien. Alunan saksofonnya seperti menenangkan. Mengingatkan Peirani untuk 'calm down'.

Lagu kedua, temponya lebih cepat. Hentakan-hentakan pada akordeon bak mengajak penonton menari dan berdansa seperti di pesta dansa. Sesuatu yang mustahil dilakukan, mengingat ruangan yang tak terlalu besar.

Lagu ketiga, penonton seperti naik komidi putar. Ada nada lembut yang tersisip dalam permainan saksofon, namun juga temponya tak teratur. Kadang naik, kadang turun. Seperti komidi putar.

Lagu keempat dan yang lainnya, kedua musisi mulai mencengkram perhatian penonton. Nada sendu yang mengalun mengingatkan penonton akan upacara kematian. Mencekam, menyentuh, dan menyayat hati pendengar. Entah bagaimana mereka melakukannya. Lagu-lagu berikutnya pun begitu. Suasana gloomy membuat hati kecut, sekaligus kagum dengan keahlian mereka.

Barulah pada lagu terakhir mereka melewati batas. Parisien memainkan saksofonnya dengan alunan yang cepat namun tak berniat memotong alunan musik dari akordeon temannya. Tempo makin lama makin naik, hingga di satu titik nadir, mereka berhenti. Membiarkan penonton menghujani mereka dengan tepukan kagum.

Serasa tak cukup, bahkan setelah mereka ke belakang panggung, penonton meminta mereka kembali. Yang dikabulkan oleh dua musisi tersebut dengan memainkan satu lagu lagi.

- 

Lalu dari mana mereka mendapatkan inspirasi hingga tercipta lagu-lagu yang indah dalam album mereka?

"Aku mendapat inspirasi dari mana saja. Dari lingkungan di Prancis, dari internet, musik klasik, bahkan dari musik-musik tradisional Indonesia," ujar Parisien saat ditemui Liputan6.com.

Bagi mereka berdua, perbedaan jenis alat musik bukanlah halangan. Meski awalnya kesulitan, namun dengan sering bertemu, berlatih, dan berdiskusi, mereka berhasil menciptakan lagu-lagu yang indah.

Kedua musisi ini bertemu sekitar lima tahun lalu. Kecocokan di antara mereka membuat mereka meraih penghargaan "The Victories de la Musique" untuk rekaman duo mereka tersebut.

"Meski tanpa vokal, kami yakin pesan musik kami sampai ke para pendengar. Sebab bicara musik sebenarnya bukan bicara kemampuan telinga mendengar, namun bagaimana rasa tersebut sampai di hati kalian," tutup Parisien. (sul)

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya