Liputan6.com, Melbourne - Saat bangsa Eropa melakukan perjalanan keliling dunia mencari tanah harapan dan tanah jajahan baru, waktu itulah penderitaan kaum pribumi dimulai. Wilayah-wilayah yang telah dihuni oleh penduduk asli sekian lama, dicaplok sebagai tempat tinggal baru oleh bangsa kulit putih.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Tak jauh berbeda dengan nasib malang suku Indian yang tinggal di Amerika Serikat, suku Aborigin pun mengalami penderitaan yang sama kala bangsa kulit putih mendarat di tanah Australia. Mereka ditindas, dilecehkan, dan yang lebih buruk, diculik untuk dibawa ke Eropa dan dipamerkan di Kebun Binatang Manusia.
Pada akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20, puluhan ribu suku Aborigin diangkut dan dipajang ke seluruh Eropa dan Amerika Utara. Yang menyedihkan, bertahun-tahun kemudian kisah mereka dihapus dari sejarah.
Bangsa kulit putih seolah menganggap suku Aborigin tidak pernah ada. Mengklaim bahwa merekalah pemilik tanah Kanguru itu sebenarnya.
Kisah kelam dan keji kebun binatang manusia itulah yang coba dituang dalam sebuah film oleh Sinematografi asal Australia, Philip Rang.
Meski berkulit putih, ia tidak pernah setuju dengan konsep kebun biantang manusia yang pernah dilakukan oleh moyangnya dahulu. Bagi dia, inilah caranya sebagai bangsa kulit putih bersimpati terhadap tragedi yang menimpa warga pribumi.
Â
"Tak hanya suku Aborigin, suku-suku asli dari seluruh dunia dijajah, diculik, daipamerkan di Kebun Binatang Manusia, sirkus, maupun kumpulan manusia aneh. Ini menyedihkan," ujar Philip seperti dikutip dari Dailymail Australia, Senin (30/01/2017).
"Dengan berpartisipasi dalam film dokumenter ini, ini salah satu cara terbaik bagi sinematografi seperti saya untuk bersimpati," tambah dia.
Sebelum film dokumenter itu ditayangkan pertama kali pada bulan Juni, masyarakat dapat melihat foto-foto kuno yang membuktikan kebun binatang manusia pernah ada. Salah satu galeri di North Queensland menampilkan foto nenek moyang mereka yang dipamerkan di kebun binatang.
"Melihat foto-foto itu, aku bisa melihat rasa sakit dan penderitaan di wajah mereka. Mereka diperlakukan harga diri sebagai manusia. Mereka diperlakukan sebagai hewan," ujar tetua Palm Island.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6