Sistem Pengupahan Direvisi, Hindari Konflik Buruh dan Pengusaha

Untuk mengeliminir konflik buruh dan pengusaha, Labor Institute Indonesia meminta pemerintah segera melakukan perubahan sistem pengupahan.

oleh Liputan6 diperbarui 31 Okt 2013, 12:50 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2013, 12:50 WIB
131031bburuh.jpg
Citizen6, Jakarta: Labor Institute Indonesia atau Institut Pengembangan Kebijakan Alternatif Perburuhan berpendapat untuk mengeliminir konflik hubungan industrial dikarenakan penetapan upah baru, pemerintah harus segera menginisiasi untuk segera melakukan perubahan radikal dalam sistem pengupahan yang berlaku saat ini. Yaitu pemerintah harus segera melakukan kajian dan mengundang para pihak/stake holder yang terlibat dalam hubungan industrial, yaitu pengusaha dan serikat pekerja untuk duduk bersama dalam mendiskusikan format pengupahan yang baru.

Sistem pengupahaan saat ini dengan masa waktu 1 tahun sekali dalam merundingkan upah menyebabkan rawan konflik, dan penetapan upah minimum hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Dengan periodisasi waktu 1 tahun tidak mungkin iklim usaha berjalan dengan normal, karena mulai bulan Agustus sampai Desember setiap tahun, pengusaha dan pekerja akan berdebat untuk membicarakan upah yang baru.

Dari survei yang dilakukan Labor Institute Indonesia, hampir 80 persen pekerja supermarket, swalayan, dan restoran di sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (Jabotabeka) tidak menerima upah berdasarkan upah minimum 2013 yang saat ini berlaku. Selain itu dari data yang dihimpun Labor Institute Indonesia, hampir 90 persen perundingan upah saat ini ditengari menimbulkan konflik hubungan industrial antara kalangan serikat pekerja dan pengusaha. Peran pemerintah, terlebih gubernur disetiap provinsi hanya sebagai "tukang stempel" belaka, yang artinya hanya melakukan persetujuan atas usulan dewan pengupahan provinsi/kota/kabupaten.

Terkait  hal ini, Labor Institute Indonesia mengusulkan agar masa pemberlakuan upah minimum sama dengan masa berlaku Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yaitu 2 tahun, dan perundingan upah diserahkan dengan mekanisme perundingan/bipartite. Nantinya, peran pemerintah hanya sebatas memberikan kalkulasi mikro mengenai prediksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, produktifitas, dan nilai tukar rupiah.

Selain itu, perundingan upah ditingkat perusahaan harus segera didorong agar perusahaan dan serikat buruh dapat mempersiapkan teamnya dalam melakukan negosiasi. Dalam hal ini prinsip win-win solution atas dasar kepercayaan dan keterbukaan dikedepankan, khususnya persentase besaran margin keuntungan perusahaan setiap tahun. Pola ini saat ini sudah diterapkan di Australia, Jepang, Korea, dan Singapura. Di samping itu pemerintah perlu memberikan kebijakan tax holiday atau dispensasi pengurangan dan pembebasan pajak badan dan perusahaan bagi perusahaan-perusahaan yang labor intensif seperti manufaktur yang mempekerjakan buruh/pekerjanya diatas 10 ribu. Sehingga perusahaan bisa mengalokasikan biaya pajak tersebut untuk kesejahteraan para pekerjanya.

Labor Institute Indonesia berpendapat permasalahan pengupahan saat ini yang rawan konflik disebabkan terputusnya kran komunikasi antara pemangku kepentingan pelaku bisnis, seperti buruh dan pengusaha. Buruh dan pengusaha mempunyai posisi yang sama penting, yaitu patner dalam menjalankan dan mengelola bisnis. Kran komunikasi tersebut harus segera dibuka, dan serikat pekerja juga dituntut untuk mengelola manajemen organisasinya agar melakukan pelatihan dan pendidikan bagi anggotanya. Seperti strategi berunding dan dialog, sehingga permasalahan yang setiap tahun muncul, seperti demonstrasi, dan mogok kerja dikarenakan menuntut upah minimum intensitasnya akan semakin berkurang. (Andy William Sinaga/mar)

Andy William Sinaga adalah Koordinator Kampanye Labor Institute Indonesia dan pewarta warga.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya