Liputan6.com, Jakarta - Pergerakan Bitcoin (BTC) masih berada di kisaran USD 63.000 atau setara Rp 1,01 miliar (asumsi kurs Rp 16.161 per dolar AS) usai Halving pada 20 April 2024.
Bitcoin pada Maret 2024 sempat mengalami lonjakan singkat ke rekor tertinggi baru di USD 73.680 atau setara Rp 1,19 miliar, diikuti dengan penurunan cepat ke level terendah USD 59.630 atau setara Rp 963,7 juta.
Baca Juga
Hal ini menunjukkan keraguan di kalangan trader dan investor mengenai arah pasar selanjutnya, terlebih setelah Bitcoin halving tidak ada perubahan signifikan. Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menjelaskan selama pekan ini pasca halving pada 20 April lalu, Bitcoin masih dalam tekanan dan sentimen negatif.
Advertisement
Beberapa faktor berkontribusi terhadap kinerja negatif ini, termasuk antisipasi laporan pendapatan kuartal perusahaan teknologi di Amerika Serikat hingga konflik Israel-Iran.
"Kinerja negatif Bitcoin pada pekan ini dapat dikaitkan, dengan ketakutan akan koreksi pasar saham AS, meningkatnya krisis di Timur Tengah, dan berkurangnya kepercayaan terhadap perekonomian China,” kata Fyqieh dalam siaran pers, Kamis (25/4/2024).
Fyqieh menambahkan, hal ini diperparah dengan tingkat pendanaan yang berubah menjadi negatif untuk pertama kalinya tahun ini, tepat sebelum peristiwa halving baru-baru ini.
Tingkat pendanaan negatif menunjukkan sentimen pasar telah berubah ke arah bearish ketika posisi short lebih besar daripada posisi long.
Siklus Halving Berbeda
Lebih lanjut, Fyqieh menjelaskan siklus halving pada tahun ini akan sedikit berbeda dibandingkan peristiwa sebelumnya. Sejauh ini, sudah terjadi empat kali halving Bitcoin, pada 20 April 2024, sebelumnya terjadi pada 11 Mei 2020, 9 Juli 2016 dan 28 November 2012.
Halving kali ini mengakibatkan penurunan imbalan penambangan Bitcoin sebesar 50%, dari 6,25 BTC menjadi 3,125 BTC. Akibatnya, jumlah Bitcoin yang beredar semakin langka sehingga menyebabkan lonjakan permintaan di kalangan investor.
Hal ini terutama karena persediaan Bitcoin terbatas, dengan hanya maksimal 21 juta koin yang beredar selamanya.
"Pergerakan harga Bitcoin akan sedikit berbeda setelah halving tahun ini, karena BTC telah mengalami lonjakan yang cukup besar, dan bahkan mencapai rekor tertinggi baru sebelum halving itu sendiri. Oleh karena itu, seluruh siklus harga yang biasanya mengelilingi peristiwa ini tampaknya menjadi lebih terkompresi," ungkap Fyqieh.
Advertisement
Alasan Halving Belum Dorong Kenaikan Harga
Fyqieh menuturkan, alasan utama lainnya mengapa halving Bitcoin ini belum menyebabkan lonjakan harga yang tinggi, adalah karena The Fed atau Federal Reserve AS belum memberikan sinyal kuat untuk penurunan suku bunga.
Melihat kenaikan harga pasca halving pada 2020, saat itu The Fed memiliki kebijakan moneter yang cukup longgar dengan suku bunga pada saat itu relatif rendah.
"Stagnansi harga Bitcoin setelah halving bisa dianggap sebagai fenomena yang wajar. Banyak yang mengharapkan kenaikan harga yang signifikan setelah halving, padahal efek dari halving ini sebenarnya dirasakan dalam 2-4 bulan setelahnya,” tutur Fyqieh.
Peluang Bitcoin ke Harga USD 100.000
Fyqieh memperkirakan harga maksimum Bitcoin masih memiliki peluang untuk dicapai oleh Bitcoin hingga akhir tahun ini adalah sekitar USD 100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar.
“Namun, pencapaian ini juga bergantung pada sentimen pasar serta potensi permintaan besar dari institusi,” jelasnya.
Melihat kembali sejarah, halving pada 2012 menandai awal dari kenaikan Bitcoin yang meroket, mendorong harganya sebesar 92 kali lipat pasca-halving. Peristiwa halving berikutnya pada 2016 dan 2020 menunjukkan peningkatan yang signifikan masing-masing sebesar 30 kali lipat dan 8 kali lipat.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.