Liputan6.com, Jakarta - Seorang tuna netra diibaratkan siang dan huruf braille diibaratkan mataharinya. Karena, keberadaan huruf braille dapat membawa terang di gelapnya dalam dunia tuna netra, sehingga seperti membuka jendela dunia dengan cara membaca.
Di Indonesia, jika berbicara huruf braille, maka juga berbicara mengenai Pak Harto. Pak Harto dikenal dengan masyarakat tuna netra dan pemerhati masalah-masalah ketunanetraan di Indonesia, seperti dilansir www.newsdifabel.com, Kamis (12/9/2019).
Drs H Suharto meninggal pada 17 Maret 2018 pada usia 92 tahun. Jasa-jasanya akan senantiasa terukir dalam ingatan setiap insan tuna netra dan pemerhati pendidikan untuk tuna netra.
Advertisement
Ia bahkan dianggap sebagai Bapak Braille Indonesia karena telah merintis pembakuan sistem tulisan braille dan telah mengembangkan sistem tulisan singkat brtaille Indonesia yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1968.
Selain itu, Pak Harto juga mengajarkan braille kepada para calon guru dan guru-guru Pendidikan Luar Biasa atau PLB dari tahun ke tahun. Lalu siapakah sosok Pak Harto?
Pak Harto merupakan seorang tuna netra. Ia menjadi tuna netra pada usia 20 tahun akibat tekena pecahan bom. Ketunanetraannya tergolong low vision karena masih dapat melihat bayangan orang, tetapi tidak dapat mengenali wajahnya atau pun membedakan jenis kelaminnya.Â
Pak Harto juga dapat membedakan warna-warna kontras, dapat mengeja huruf berukuran besar (seukuran judul koran), dan masih cukup fungsional untuk kegiatan orientasi dan mobilitas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pensiunan Guru yang Aktif
Pak Harto rupanya seorang pensiunan guru dari Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Negeri Bandung dengan masa kerja 1955- 1986.
Buku Pedoman Tulisan Braille Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1968) adalah buah karyanya. Ia juga memiliki segudang kegiatan semasa hidupnya.
Pak Harto pernah menjabat Ketua Ikatan Tunanetra Indonesia (Ikatindo) sejak 1968, anggota DPP Pertuni (1994-2000), dosen luar biasa IKIP Bandung (1984-1996).
Kemudian bekerja sebagai korektor braille pada percetakan Braille Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) hingga 1996, penatar guru SLB tingkat nasional hingga 2002, dan sebagai seorang entrepreneur peralatan tuna netra.
Pendidikan terakhirnya adalah S1 Pendidikan Umum Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (sekarang UPI).
Ia lahir di Surabaya pada 1926. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik (setingkat SMP) pada masa revolusi kemerdekaan, dirinya bergabung dengan Tentara Pelajar dan kemudian menjadi tentara AURI.
Pada saat bertugas di daerah Malang (pada usia 20 tahun), matanya terkena pecahan bom yang mengakibatkan ketunanetraannya, dan dipensiunkan dari dinas ketentaraan pada 1950 dalam pangkat Letnan Dua.
Kemudian, pada tahun yang sama, Pak Harto masuk lembaga pendidikan bagi tuna netra di Bandung, Rumah Buta (sekarang Wyata Guna).
Di situlah ia mendapat pelatihan membaca dan menulis braille sebelum melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Bawah (SGB) khusus bagi tuna netra, program pendidikan guru empat tahun setingkat SMP.
Ketika teman-temannya naik ke kelas III, Pak Harto meloncat ke kelas IV di SGB umum, dia pun belajar bersama-sama dengan siswa-siswa non disabilitas (inklusi).
Setelah tamat SGB, ia diterima di SGA untuk melanjutkan pendidikannya setelah berhasil meyakinkan para pejabat terkait dan guru-guru di sekolah itu bahwa sebagai seorang tunanetra dirinya mampu belajar di sekolah umum.
Ia terbukti menjadi satu-satunya siswa seangkatannya yang berhasil lulus dalam waktu dua tahun (dari program yang seharusnya tiga tahun), melalui program extrane.
Pada 1995 lulus dari SGA, Pak Harto diangkat sebagai guru di Sekolah Rakyat Istimewa (sekarang Sekolah Luar Biasa) untuk anak-anak tunanetra di Temanggung, Jawa Tengah.
Sebelum berangkat ke Temanggung, ia menikah dengan Sugiarti, anak seorang pegawai Rumah Buta yang sudah dikenalnya sejak masuk Rumah Buta.
Advertisement
Menerbitkan Karya
Setahun setelah bekerja di Temanggung, Pak Harto mendapat tugas dari Jawatan Pendidikan Khusus untuk menyusun pedoman tulisan Braille Indonesia.
Untuk mempermudah pelaksanaan tugasnya, pak Harto meminta agar di pindahkan ke Bandung, dan ditempatkan sebagai guru SGPLB (yang ketika itu masih setingkat SGA).
Tahun 1968 edisi pertama karyanya diterbitkan oleh Departemen Pendidikandan Kebudayaan. Di dalamnya terdapat sistem tulisan singkat braille Indonesia (yang dikenal dengan akronim tusing).
Sementara itu, Pak Harto bekerja keras guna mewujudkan ambisinya untuk menjadi sarjana. Ia kuliah di jurusan pendidikan umum, IKIP Bandung. Dan lulus sarjana muda pada 1967, lalu lulus sarjana dua tahun kemudian.
Di samping sebagai pekerja tetap pada tenaga pengajar di SGPLB, Pak Harto juga aktif dalam berbagai kegiatan di beberapa lembaga dan organisasi ketunanetraan.
Pada 1986, Pak Harto pensiun sebagai pegawai negeri, tetapi ia terus menjalankan kehidupan yang aktif. Ia menetap di Bandung bersama istrinya yang juga pensiunan pegawai negeri.
Keempat anaknya tamat dari perguruan tinggi yang prestisius (ITB dan IPB), berhasil dalam karir dan masing-masing memberi dua orang cucu.
Â
(Desti Gusrina)