Liputan6.com, Jakarta - Program tambak budidaya ikan nila yang dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak mengalami kerugian imbas kasus dugaan pemalsuan keuangan perusahaan rintisan eFishery yang mencuat beberapa waktu ini.
“Sejauh ini, program tambak budidaya nila salin di Karawang tetap berjalan dan tidak terdampak langsung oleh kondisi eFishery,” ujar Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto Darwin dikutip dari Antara, Jumat (31/1/2025).
Baca Juga
KKP menjadi salah satu mitra pemanfaatan teknologi eFeeder, yakni alat yang secara otomatis mampu memberikan pakan pada komoditas perikanan budi daya secara efisien. Pada modeling atau proyek percontohan budidaya nila salin di Karawang, Jawa Barat, KKP menyewa sebanyak 256 unit pada 2023.
Advertisement
Jumlah itu meningkat menjadi 422 unit pada 2024 dengan model kerja sama yang diterapkan yakni sewa per unit dengan biaya Rp339.000 per bulan.
“Model kerja sama ini menjadikan KKP tidak mengalami kerugian karena pembayaran dilakukan sesuai jumlah unit yang dioperasikan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Karawang, Jawa Barat,” jelasnya.
Namun demikian, lanjut Doni, KKP mengantisipasi segala kemungkinan dengan mulai menjajaki kerja sama dengan mitra lain yang memiliki solusi serupa.
“Hal ini dilakukan agar program percontohan (modeling) budidaya tetap berjalan optimal dan tidak terganggu oleh permasalahan yang terjadi di pihak mitra teknologi,” katanya lagi.
Selain di Karawang, Jawa Barat, tercatat pemanfaatan teknologi akuakultur dalam sistem modeling budidaya juga dikembangkan di berbagai lokasi lain.
KKP terus mengembangkan inovasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan keberlanjutan program-program budidaya berbasis teknologi.
Ke depan, KKP akan lebih memperkuat mitigasi risiko dalam setiap kerja sama dengan memastikan keberlanjutan operasional program serta mengembangkan ekosistem kemitraan yang lebih beragam. Dengan demikian, dampak terhadap program nasional dapat diminimalkan dan ketahanan pangan berbasis perikanan tetap terjaga.
Sementara soal rencana Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Pekerja PT Multidaya Teknologi Nusantara (SPMTN) atau eFishery Risyad Azhary yang bakal melakukan audiensi ke KKP, Doni menyambut baik rencana tersebut.
“Welcome saja. Kami siap mendengar,” pungkasnya.
Skandal eFishery: Bisikan whistleblower Soal Manipulasi Penjualan
Salah satu startup terbesar di Indonesia, eFishery, diduga telah memanipulasi laporan keuangan dengan menggelembungkan pendapatan dan keuntungan selama beberapa tahun terakhir. Dugaan ini muncul dari investigasi internal yang dipicu oleh laporan seorang whistleblower terkait praktik akuntansi perusahaan.
Menurut laporan investigasi sementara setebal 52 halaman yang beredar di kalangan investor, manajemen eFishery diduga menaikkan pendapatan hampir USD 600 juta atau kurang lebih Rp 9,75 triliun (Estimasi kurs Rp 16.252 per USD) dalam sembilan bulan hingga September tahun lalu. Jika benar, berarti lebih dari 75 persen angka yang dilaporkan merupakan data palsu.
Dikutip dari Straits Times, Kamis (30/1/2025), eFishery, yang dikenal sebagai startup agritech inovatif dengan teknologi pemberian pakan ikan dan udang, mencapai valuasi sebesar USD 1,4 miliar atau Rp 22,75 triliun setelah menerima pendanaan dari G42, perusahaan kecerdasan buatan milik Sheikh Tahnoon bin Zayed Al Nahyan dari Uni Emirat Arab.
Startup ini telah mengumpulkan ratusan juta dolar untuk memodernisasi industri perikanan Indonesia dengan menyediakan perangkat pemberi pakan pintar, suplai pakan, serta membeli hasil panen petani untuk dijual ke pasar yang lebih luas.
Investor awalnya tergiur dengan laporan profitabilitas eFishery, terutama di tengah tren pemutusan hubungan kerja (PHK), pengunduran diri CEO, dan anjloknya valuasi perusahaan teknologi lainnya.
Perusahaan ini melaporkan keuntungan sebesar USD 16 juta atau Rp 260 miliar dalam sembilan bulan pertama 2024. Namun, investigasi yang diperintahkan oleh dewan direksi justru menemukan bahwa perusahaan sebenarnya mengalami kerugian sebesar USD 35,4 juta atau Rp 568 miliar.
Dalam periode yang sama, eFishery mengklaim pendapatan sebesar USD 752 juta kepada investor, tetapi laporan investigasi memperkirakan angka yang sebenarnya hanya USD 157 juta. Tidak hanya itu, dugaan penggelembungan angka ini juga terjadi pada beberapa tahun sebelumnya.
Advertisement
Pemecatan CEO dan Langkah Investigasi
Investigasi ini bermula setelah seorang whistleblower melaporkan adanya ketidaksesuaian dalam laporan keuangan kepada salah satu anggota dewan direksi. Setelah menerima laporan tersebut, dewan memutuskan untuk melakukan penyelidikan resmi pada Desember 2024 dan akhirnya memberhentikan salah satu pendiri sekaligus CEO eFishery, Gibran Huzaifah, setelah ditemukan adanya ketidakwajaran dalam laporan keuangan perusahaan.
“Kami sepenuhnya menyadari seriusnya spekulasi yang berkembang di pasar dan kami menangani masalah ini dengan sangat serius,” kata eFishery dalam sebuah pernyataan.
“Kami tetap berkomitmen untuk menjaga standar tata kelola perusahaan dan etika yang tertinggi dalam seluruh operasi eFishery.”
Laporan investigasi yang disusun oleh FTI Consulting ini masih berstatus rancangan dan dapat berubah seiring berjalannya penyelidikan. Laporan tersebut didasarkan pada lebih dari 20 wawancara dengan staf perusahaan serta pemeriksaan catatan keuangan dan percakapan di berbagai platform komunikasi internal seperti WhatsApp dan Slack.
Meski begitu, penyelidik belum berbicara dengan auditor atau meninjau dokumen audit resmi. Data yang tersedia kemungkinan masih akan mengalami perubahan karena penyelidikan terhadap rekening bank, wawancara, serta dokumen lain masih berlangsung.
Dampak Besar terhadap Ekosistem Startup Indonesia
Gibran Huzaifah belum memberikan tanggapan terkait tuduhan ini. Sementara itu, investor utama seperti Temasek dan SoftBank menolak berkomentar, sedangkan perwakilan dari FTI dan G42 belum memberikan respons terhadap permintaan konfirmasi.
Para pemegang saham dan direktur dikabarkan terkejut dengan skala dugaan kecurangan ini, mengingat adanya mekanisme perlindungan seperti pemeriksaan kanal distribusi dan wawancara keluar bagi staf yang meninggalkan perusahaan.
Sebelumnya, eFishery telah menggunakan jasa audit dari PricewaterhouseCoopers dan Grant Thornton, namun kedua firma akuntansi tersebut juga belum memberikan tanggapan.
Sejak investigasi dimulai, investor telah mengadakan beberapa pertemuan untuk membahas langkah selanjutnya, termasuk nasib aset dan dana yang tersisa di perusahaan.
Salah satu temuan investigasi awal menyebutkan bahwa dari klaim eFishery memiliki lebih dari 400.000 unit alat pemberi pakan yang beroperasi di lapangan, jumlah sebenarnya diperkirakan hanya sekitar 24.000 unit.
Advertisement