Liputan6.com, Jakarta R. Ismail Prawira Kusuma, pemimpin sekaligus pendiri Yayasan Bakti Islami Takwinul Ummah Karawang, dikenal sebagai sosok yang baik, santun, murah hati, dan kerap menyelipkan humor di setiap materi yang disajikannya dalam majelis ilmu. Masyarakat sekitar akrab menyapanya dengan sebutan Ustaz Ismail. Bagi mereka, Ustaz Ismail adalah sosok difabel inspiratif.
Ustaz Ismail tidak terlahir sebagai penyandang tunanetra. Musibah itu berawal pada saat usianya 5 tahun. Ia ingat betul kala itu adalah bulan Ramadhan. Neneknya sedang sibuk membuat kue dan ibunya tengah pergi bekerja di Bekasi. Seperti hari biasanya, Ismail kecil dan kawan-kawan bermain bersama di pekarangan rumah.
Baca Juga
Perkembangan Teknologi Turunkan Risiko Alami Disabilitas Fisik Pasca Operasi Penyakit Tulang Belakang
Dama Kara, Batik Tradisional yang Berdayakan Difabel Ini Sukses Berjualan Lewat Shopee Live
Jelang Pilkada 2024, KPU Pastikan Semua TPS Sediakan Template Braille bagi Pemilih dengan Disabilitas Netra
Tepat di sebelah rumahnya, ada tetangga yang sedang memperbaiki senapan angin. Rasa penasaran yang tinggi menghantarkan Ismail kecil mendekat ke arah senapan. Dilihatnya lubang senapan itu, dan hal yang tak diinginkan pun terjadi. Tetangganya tanpa sengaja menarik pelatuk dan per dari dalam senapan mengenai mata.
Advertisement
Akibatnya, mata kiri Ismail terluka. Kondisi disabilitas itu tidak langsung dirasakan, hal ini berproses. Barulah ketika ia duduk di kelas 3 SMP, mata kirinya menjadi buta total. Tak sampai di situ, walau dokter mengatakan hal ini takkan berdampak pada mata kanan, namun diagnosis ternyata salah.
Ismail mengalami infeksi saraf yang menyebabkan mata kanannya pun mengalami kebutaan. Hal ini terjadi ketika ia duduk di kelas 3 SMA. Ini menjadi masa-masa sulit bagi pria yang dikenal pintar ini. Pasalnya, selain tak bisa melihat, ia pun merasakan sakit yang luar biasa di bagian kepala.
“Sempat 3 bulan pertama syok, mengurung diri di kamar tidak ingin bertemu siapa pun. Rasanya kalau bisa pengalaman masa lalu saya itu saya masukkan ke peti, petinya saya kunci, kuncinya saya buang,” ujar Ismail ketika ditemui di Karawang, Senin (13/1/2020) lalu.
Kaset Murotal Pemberian Kawan-Kawan
Tiga bulan berlalu, menerima keadaan adalah satu-satunya jalan bagi Ismail. Pencerahan dan dukungan dari para guru dan kawan santri pun banyak ia terima.
Suatu ketika, kawan-kawan santri berkunjung ke rumah dan memberikan sebuah kaset murotal. Diputarnya kaset itu sedari pagi hingga menjelang tidur.
“Lantunan Al-Quran itu masuk ke dalam kepala saya dan seolah-olah mendinginkan kepala yang sedang nyut-nyutan. Rasa sakit pun berangsur-angsur hilang,” ujarnya.
Sejak saat itu, Ismail mulai memutar balik pemikirannya dan mensyukuri keadaan. Ia menjadi rajin menghafal Al-Quran dan memiliki fokus yang lebih baik.
“Alhamdulillah dengan menjadi tunanetra saya malah mendapatkan nikmat yang luar biasa dari Allah. Saya bisa hafal Quran setelah tunanetra. Saya juga bisa kuliah S1 dan S2 juga karena tunanetra. Dengan saya tunanetra, ada orang yang sayang dan peduli sama saya,” katanya.
Ia melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan bantuan orangtua angkatnya bernama Haji S. Prawiro almarhum. Ia pun berhasil menyabet gelar magister ekonomi Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor yang dibiayai pengusaha nasional Bob Hasan sampai selesai.
Advertisement