Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dari masyarakat terutama keluarga. Jika dukungan tersebut tidak didapatkan, maka akan berdampak negatif pada difabel itu sendiri.
Menurut Pendiri Organisasi Advokasi Inklusi Disabilitas (AUDISI), Yustitia Arief, stigma masyarakat bahkan keluarga terhadap penyandang disabilitas masih ditemukan di berbagai daerah. Hal ini berdampak pada perkembangan dan masa depan difabel tersebut.
“Dampaknya, dia (disabilitas) tidak dapat berkembang sesuai kapasitasnya. Setiap anak disabilitas, apapun disabilitasnya kalau dikembangkan sesuai kemampuannya itu bisa berkembang sesuai kapasitasnya,” ujar Yustitia kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, ditulis Minggu (14/2/2021).
Advertisement
Ia menambahkan, keluarga atau orangtua yang tidak memiliki pemahaman yang cukup cenderung memberi stigma bahwa anak disabilitas tidak dapat melakukan apapun dan perlu dibantu seumur hidupnya.
Sebaliknya, orangtua yang paham tentang disabilitas akan mendorong perkembangan anaknya agar setidaknya mereka bisa melakukan kegiatan sederhana sehari-hari dengan mandiri. Misal, makan, mandi, memakai baju, dan ke kamar mandi sendiri.
Simak Video Berikut Ini
Dampak Lainnya
Selain perkembangan anak menjadi terhambat, lanjut Yustitia, stigma keluarga juga berdampak pada tidak tercapainya beberapa hak penyandang disabilitas.
Misal, orangtua yang tidak mendaftarkan anaknya dalam pendataan disabilitas membuat anak tidak tercatat sebagai warga negara. Dengan demikian, ia tidak memiliki kartu tanda penduduk atau KTP.
Jika anak tersebut tidak memiliki KTP, maka ia tidak dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum (Pemilu), kesulitan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, tidak mendapat bantuan sosial, dan kesulitan di dunia kerja.
“Akibat stigma, anak ini menjadi terhambat. Yang seharusnya bisa akhirnya karena tidak dididik dan tidak diberikan pemberdayaan atau kepercayaan atas kemandiriannya ya akhirnya dia bergantung terus sama orang,” tutupnya.
Advertisement