Bulan Suro Adalah Waktu Sakral dalam Tradisi Jawa: Sejarah, Makna, dan Ritual

Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa yang dianggap sakral. Pelajari sejarah, makna, dan berbagai tradisi unik di bulan Suro.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Nov 2024, 12:25 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2024, 12:25 WIB
Kenapa Pesta Pernikahan Tabu Dilakukan Saat Bulan Suro?
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini bahwa ini adalah saat untuk terus bersikap eling

Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang memiliki makna mendalam dan dianggap sakral oleh masyarakat Jawa. Bulan ini bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriyah dan diperingati dengan berbagai tradisi dan ritual unik. Mari kita telusuri lebih dalam tentang sejarah, makna, dan berbagai aspek menarik dari bulan Suro, Senin (11/11/2024).

Pengertian dan Sejarah Bulan Suro

Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriyah. Nama "Suro" berasal dari kata Arab "Asyura" yang berarti hari kesepuluh di bulan Muharram. Penanggalan Jawa sendiri merupakan hasil penyesuaian antara kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijriyah yang dilakukan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram Islam, pada tahun 1633 Masehi.

Sejarah penetapan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung. Saat itu, masyarakat Jawa umumnya masih menggunakan penanggalan tahun Saka warisan Hindu, sementara Kesultanan Mataram Islam telah menerapkan kalender Hijriyah. Untuk mempersatukan rakyatnya dan memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, Sultan Agung berinisiatif memadukan kedua sistem penanggalan tersebut.

Penyatuan kalender ini dimulai pada Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Sejak saat itu, 1 Suro ditetapkan sebagai awal tahun baru Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada sistem penanggalan, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Jawa.

Makna dan Filosofi Bulan Suro

Bulan Suro memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Beberapa aspek filosofis yang terkandung dalam bulan Suro antara lain:

  • Keharmonisan dan Persatuan: Bulan Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan antar sesama, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Berbagai konflik dan perbedaan pendapat diupayakan untuk diselesaikan agar memasuki tahun baru dengan hati yang bersih.
  • Penyucian Diri: Bulan ini dipercaya sebagai momentum untuk melakukan introspeksi dan penyucian diri, baik secara lahiriah maupun batiniah. Banyak ritual yang dilakukan bertujuan untuk membersihkan diri dari dosa dan kesalahan masa lalu.
  • Refleksi dan Perenungan: Masyarakat Jawa memanfaatkan bulan Suro sebagai waktu untuk merenung dan melakukan introspeksi diri. Ini menjadi momen untuk mensyukuri nikmat yang telah diterima dan merencanakan perbaikan di masa depan.
  • Penghormatan pada Leluhur: Bulan Suro juga menjadi waktu untuk mengenang jasa para leluhur dan memperkuat ikatan dengan warisan budaya Jawa.
  • Keseimbangan Mikrokosmos dan Makrokosmos: Dalam pandangan Jawa, bulan Suro dianggap sebagai waktu bertemunya alam gaib (makrokosmos) dengan alam manusia (mikrokosmos). Ini menjadi momen untuk mencari keselarasan antara kedua alam tersebut.

Filosofi-filosofi ini tercermin dalam berbagai ritual dan tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa selama bulan Suro, menjadikannya bulan yang sarat makna spiritual dan kultural.

Tradisi dan Ritual Khas Bulan Suro

Bulan Suro diperingati dengan beragam tradisi dan ritual unik di berbagai daerah di Pulau Jawa. Berikut ini beberapa tradisi yang paling terkenal:

1. Kirab Pusaka

Kirab Pusaka merupakan tradisi yang dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Dalam ritual ini, benda-benda pusaka keraton diarak keliling kota. Di Surakarta, kirab ini terkenal dengan adanya Kebo Bule Kyai Slamet, kerbau albino yang dianggap keramat. Prosesi kirab biasanya dimulai pada malam 1 Suro dan berlangsung hingga dini hari.

Makna dari Kirab Pusaka ini adalah sebagai bentuk doa dan harapan untuk keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Benda-benda pusaka yang diarak diyakini memiliki kekuatan spiritual yang dapat membawa berkah bagi lingkungan sekitarnya.

2. Jamasan Pusaka

Jamasan Pusaka atau ritual membersihkan benda-benda pusaka juga menjadi tradisi penting di bulan Suro. Di Keraton Yogyakarta, ritual ini dilakukan pada setiap hari Selasa Kliwon selama bulan Suro. Benda-benda yang dijamas meliputi senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, gamelan, dan manuskrip kuno.

Proses jamasan tidak hanya bertujuan untuk membersihkan benda-benda pusaka secara fisik, tetapi juga dipercaya dapat membersihkan energi negatif yang mungkin melekat pada benda-benda tersebut. Ritual ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur dan upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya Jawa.

3. Tapa Bisu

Tapa Bisu atau "meditasi diam" adalah tradisi yang dilakukan di Yogyakarta, khususnya di lingkungan Keraton. Peserta ritual ini berjalan mengelilingi benteng keraton (mubeng beteng) tanpa berbicara, makan, minum, atau merokok. Ritual dimulai tengah malam dan berakhir menjelang fajar.

Makna dari Tapa Bisu adalah sebagai bentuk introspeksi diri dan pengendalian hawa nafsu. Dengan berdiam diri dan menahan segala bentuk keinginan, peserta diharapkan dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperoleh kejernihan pikiran untuk menghadapi tahun yang baru.

4. Labuhan

Labuhan adalah tradisi melarung sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Di Yogyakarta, ritual ini biasanya dilakukan di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sesaji yang dilarung biasanya berupa hasil bumi, pakaian, dan benda-benda simbolis lainnya.

Ritual Labuhan dipercaya sebagai bentuk sedekah kepada alam dan penghormatan kepada kekuatan-kekuatan supernatural yang diyakini menguasai tempat-tempat tersebut. Selain itu, Labuhan juga menjadi simbol pembersihan diri dari hal-hal negatif yang ingin ditinggalkan di tahun lalu.

5. Kungkum

Kungkum adalah tradisi berendam di sumber mata air atau sungai yang dianggap keramat pada malam 1 Suro. Ritual ini banyak dilakukan di berbagai daerah di Jawa, seperti di Umbul Pengging (Boyolali), Sendang Sriningsih (Prambanan), dan Sendang Klangkapan (Sleman).

Tujuan dari ritual Kungkum adalah untuk membersihkan diri secara lahir dan batin. Air diyakini memiliki kekuatan untuk menyucikan dan membawa berkah. Selama berendam, peserta biasanya berdoa dan bermeditasi, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menjalani tahun yang baru.

Pantangan dan Larangan di Bulan Suro

Selain berbagai ritual dan tradisi, bulan Suro juga dikenal dengan adanya beberapa pantangan atau larangan yang diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa. Beberapa di antaranya adalah:

  • Larangan Menggelar Hajatan: Banyak orang Jawa yang menghindari mengadakan acara besar seperti pernikahan atau khitanan di bulan Suro. Hal ini didasari kepercayaan bahwa bulan Suro adalah waktu untuk introspeksi dan menahan diri, bukan untuk berpesta.
  • Pembatasan Perjalanan Jauh: Sebagian masyarakat percaya bahwa melakukan perjalanan jauh di bulan Suro dapat mendatangkan kesialan atau bahaya. Mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah dan fokus pada kegiatan spiritual.
  • Penghindaran Aktivitas Penting: Beberapa orang menghindari memulai usaha baru, pindah rumah, atau mengambil keputusan penting di bulan Suro. Mereka percaya bahwa keputusan yang diambil di bulan ini mungkin tidak akan berjalan lancar.
  • Larangan Memotong Rambut: Ada kepercayaan bahwa memotong rambut di bulan Suro dapat memotong rezeki atau keberuntungan.
  • Pembatasan Aktivitas Malam: Beberapa daerah memiliki kepercayaan bahwa aktivitas di malam hari selama bulan Suro harus dibatasi untuk menghindari gangguan dari makhluk halus yang diyakini lebih aktif pada waktu ini.

Penting untuk dicatat bahwa pantangan-pantangan ini lebih merupakan tradisi budaya daripada aturan agama. Tidak semua orang Jawa mempercayai atau mempraktikkan pantangan-pantangan ini. Banyak yang memandangnya sebagai warisan budaya yang perlu dihormati, namun tidak harus diikuti secara kaku.

Perbedaan Bulan Suro dan Muharram

Meskipun bulan Suro sering dianggap sama dengan bulan Muharram, sebenarnya terdapat beberapa perbedaan antara keduanya:

  • Asal-usul: Bulan Suro berasal dari tradisi Jawa yang merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dengan Islam. Sementara Muharram murni berasal dari kalender Hijriyah dalam tradisi Islam.
  • Sistem Penanggalan: Bulan Suro mengikuti sistem penanggalan Jawa yang merupakan gabungan antara kalender Saka dan Hijriyah. Muharram mengikuti murni kalender Hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan.
  • Cara Perayaan: Perayaan bulan Suro lebih kental dengan tradisi dan ritual Jawa, seperti kirab pusaka dan tapa bisu. Sementara perayaan Muharram dalam Islam lebih fokus pada ibadah seperti puasa dan sedekah.
  • Makna Spiritual: Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai waktu untuk introspeksi dan penyucian diri dengan nuansa mistis. Dalam Islam, Muharram dihormati sebagai salah satu bulan suci, tetapi tanpa unsur mistis.
  • Durasi: Meskipun sama-sama dimulai pada tanggal 1, bulan Suro dalam penanggalan Jawa bisa jadi tidak selalu tepat 30 hari seperti Muharram dalam kalender Hijriyah.

Pemahaman akan perbedaan ini penting untuk menghargai keunikan masing-masing tradisi dan menghindari pencampuradukan konsep yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Cara Merayakan Bulan Suro yang Bijak

Dalam merayakan bulan Suro, penting untuk menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi dan pemahaman konteks modern. Berikut beberapa cara bijak untuk merayakan bulan Suro:

  • Refleksi Diri: Manfaatkan momentum bulan Suro untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri. Renungkan pencapaian dan kekurangan di tahun lalu, serta rencanakan perbaikan untuk tahun mendatang.
  • Menghargai Warisan Budaya: Ikuti atau saksikan tradisi-tradisi bulan Suro sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan budaya Jawa. Namun, lakukan dengan pemahaman kritis dan tidak mengadopsi kepercayaan yang bertentangan dengan keyakinan pribadi.
  • Berbagi dan Beramal: Lakukan kegiatan sosial seperti berbagi makanan atau membantu yang membutuhkan sebagai bentuk syukur dan upaya memulai tahun baru dengan kebaikan.
  • Belajar Sejarah dan Filosofi: Pelajari lebih dalam tentang sejarah dan filosofi di balik tradisi-tradisi bulan Suro. Pemahaman ini akan membantu memaknai perayaan dengan lebih bijak.
  • Menghindari Takhayul: Hindari mempercayai takhayul atau mitos yang tidak berdasar. Fokus pada nilai-nilai positif dari tradisi bulan Suro seperti introspeksi diri dan penguatan hubungan sosial.
  • Berdoa dan Beribadah: Bagi yang beragama, manfaatkan bulan Suro untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
  • Menjaga Keseimbangan: Jangan terlalu fanatik dalam mengikuti tradisi bulan Suro hingga mengganggu aktivitas sehari-hari atau bertentangan dengan prinsip agama yang dianut.

Dengan pendekatan yang bijak, perayaan bulan Suro dapat menjadi momen yang bermakna untuk memperkuat identitas budaya sekaligus mengembangkan diri secara spiritual dan sosial.

Pengaruh Bulan Suro dalam Kehidupan Modern

Meskipun berakar dari tradisi kuno, bulan Suro tetap memiliki relevansi dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa modern. Beberapa aspek pengaruh tersebut antara lain:

  • Pariwisata Budaya: Perayaan-perayaan besar seperti Kirab Pusaka di Solo dan Yogyakarta menjadi daya tarik wisata yang signifikan, mendatangkan banyak pengunjung dan memberikan dampak ekonomi positif.
  • Pelestarian Budaya: Tradisi-tradisi bulan Suro membantu melestarikan warisan budaya Jawa, menjadi sarana transmisi nilai-nilai dan filosofi Jawa antar generasi.
  • Penguatan Identitas: Bagi masyarakat Jawa modern, partisipasi dalam tradisi bulan Suro menjadi cara untuk meneguhkan identitas kultural mereka di tengah arus globalisasi.
  • Momen Refleksi Sosial: Bulan Suro sering dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi dan perencanaan, baik di tingkat individu maupun masyarakat.
  • Sinkretisme Budaya: Perayaan bulan Suro menjadi contoh bagaimana elemen-elemen dari berbagai tradisi (Jawa, Hindu, Islam) dapat berbaur dalam harmoni, mencerminkan karakter masyarakat Indonesia yang multikultural.
  • Inspirasi Seni dan Kreativitas: Ritual dan filosofi bulan Suro sering menjadi sumber inspirasi bagi seniman dalam menciptakan karya-karya seni kontemporer.
  • Diskursus Intelektual: Tradisi bulan Suro menjadi bahan kajian menarik bagi para akademisi dan budayawan, memicu diskusi-diskusi tentang identitas, spiritualitas, dan modernitas.

Pengaruh-pengaruh ini menunjukkan bahwa tradisi bulan Suro bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi tetap menjadi bagian yang hidup dan dinamis dalam masyarakat Jawa kontemporer.

Kontroversi dan Kritik terhadap Tradisi Bulan Suro

Meskipun dihormati dan dilestarikan oleh banyak orang, tradisi bulan Suro juga tidak lepas dari kontroversi dan kritik. Beberapa pandangan kritis terhadap tradisi ini antara lain:

  • Takhayul dan Bid'ah: Beberapa kelompok agama, terutama dari kalangan Islam puritan, mengkritik aspek-aspek mistis dalam perayaan bulan Suro sebagai bentuk takhayul atau bid'ah yang harus dihindari.
  • Pemborosan Sumber Daya: Kritik juga muncul terhadap besarnya biaya yang dikeluarkan untuk upacara-upacara besar seperti Kirab Pusaka, yang dianggap bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif.
  • Penguatan Feodalisme: Beberapa kritikus melihat tradisi-tradisi keraton dalam bulan Suro sebagai bentuk pelestarian sistem feodal yang tidak relevan lagi di era demokrasi modern.
  • Eksploitasi Komersial: Ada kekhawatiran bahwa komersialisasi tradisi bulan Suro, terutama untuk kepentingan pariwisata, dapat mengurangi nilai sakral dan autentisitas budaya.
  • Penguatan Stereotip: Penonjolan aspek mistis dalam tradisi bulan Suro dianggap dapat memperkuat stereotip negatif tentang masyarakat Jawa sebagai komunitas yang tidak rasional.
  • Konflik dengan Modernitas: Beberapa pihak melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan terkait bulan Suro dapat menghambat kemajuan dan pola pikir modern, terutama jika diterapkan secara kaku.
  • Isu Gender: Kritik juga muncul terhadap beberapa aspek tradisi yang dianggap bias gender, seperti pembatasan peran perempuan dalam ritual-ritual tertentu.

Kontroversi dan kritik ini menunjukkan bahwa tradisi bulan Suro, seperti halnya banyak tradisi budaya lainnya, terus menghadapi tantangan untuk beradaptasi dan menegoisasikan posisinya dalam konteks masyarakat yang terus berubah.

Kesimpulan

Bulan Suro merupakan waktu yang sarat makna dalam tradisi Jawa, mencerminkan perpaduan unik antara warisan budaya lokal dengan pengaruh Islam. Melalui berbagai ritual dan tradisi yang dilakukan, bulan Suro menjadi momen penting untuk introspeksi diri, penguatan ikatan sosial, dan peneguhan identitas kultural.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik di era modern, tradisi bulan Suro tetap bertahan dan bahkan berkembang, menunjukkan daya tahan dan fleksibilitas budaya Jawa. Kunci untuk memaknai bulan Suro di masa kini adalah dengan menyeimbangkan penghormatan terhadap warisan leluhur dengan pemahaman kritis dan kontekstual.

Dalam merayakan bulan Suro, penting untuk mengambil nilai-nilai positif seperti introspeksi diri, penguatan solidaritas sosial, dan penghargaan terhadap alam, sambil tetap bersikap rasional dan terbuka terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian, tradisi bulan Suro dapat terus menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan masyarakat Jawa kontemporer, memperkaya mozaik budaya Indonesia yang beragam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya