'Tsunami 2004, Saya Seperti Ada di Gulungan Mesin Cuci Raksasa'

Pria itu terjebak di dalam gedung saat diterjang tsunami, sedangkan kekasihnya tewas.

oleh Rizki Gunawan diperbarui 27 Des 2014, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Des 2014, 13:00 WIB
Tsunami 2004 di Thailand
Tsunami 2004 di Thailand (Wikipedia)

Liputan6.com, Khao Lak - Bencana tsunami yang terjadi di sepanjang pesisir Samudera Hindia, tepatnya kawasan Asia Tenggara dan Selatan pada 26 Desember 2004, merupakan salah satu bencana terbesar dalam sejarah yang sulit dilupakan para korban dan keluarganya. Ada sekitar 250 orang korban jiwa dari 14 negara. Aceh, Indonesia menjadi kawasan terparah yang digulung tsunami, kemudian disusul Sri Lanka, India, dan Thailand.

10 tahun sudah bencana berlalu. Namun, masih terngiang di benak para korban, bagaimana gempa dan gulungan ombak itu menerjang. Seperti yang dirasakan korban selamat, Andy Chaggar, pria asal Inggris yang saat itu tengah berwisata di Khao Lak, Thailand. Dia mengaku seperti berada di gulungan mesin cuci raksasa saat diterjang gelombang tsunami. Dia selamat, sedangkan kekasihnya, Nova Mills, tewas.

"Saat itu, aku sedang bersama kekasihku di bungalo. Tiba-tiba ada terjangan air datang. Kami tergulung. Airnya penuh dengan puing-puing, kayu logam, kaca, batu bata. Rasanya seperti berada di gulungan mesin cuci raksasa. Bagaikan menjadi bagian sup kentang," ujar Chaggar, seperti dikutip Liputan6.com dari The Guardian, Sabtu (27/12/2014).

Pria itu menyatakan masih beruntung, karena terjebak di dalam sebuah bangunan. Meski terombang-ambing di dalam gedung itu, ia bersyukur tak terbawa arus hingga ke luar rumah. "Aku menderita sekali saat itu, berdiri susah, duduk pun susah. Aku kira sudah mati, tersapu ke laut," kata Chaggar.

Dia menuturkan, setelah gelombang berlalu, sejumlah relawan datang mencoba menyelamatkan. Tapi tak dinyana, ada gelombang kedua yang datang. Tim penyelamat terpaksa kembali pergi.

Chaggar berhasil selamat dari terjangan gelombang kedua, karena sudah naik terlebih dahulu ke bagian atas gedung. "Gelombang kedua tak setinggi yang pertama. Berlalu cepat di bawahku. Itu juga tak lama," kata lelaki tersebut.

Setelah air bah dianggap surut total, tim relawan menemukan Chaggar di dalam sebuah bangunan. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat. Beberapa tulangnya patah.

Selama di Thailand, Chaggar dipindahkan dari rumah sakit satu ke rumah sakit yang lain. Kemudian diterbangkan ke Inggris. Selama 7 pekan dia dirawat dan 7 bulan menjalani fisioterapi.

"Saat itu, aku sangat terpukul. Aku berpikir seandainya saat itu aku dan kekasihku tahu, seharusnya tidak di tempat itu. Atau setidaknya kita bisa mencari jalan keluar bersama-sama. Tapi bagaimanapun juga aku harus melalui masa sedih ini."


Andi Chaggar saat menjadi relawan (The Guardian)

Untuk melupakan rasa sedihnya, setelah sembuh total, alih-alih pergi jauh dari lokasi tsunami Chaggar memilih untuk kembali ke Thailand pada Agustus 2005, ke lokasi di mana ia diterjang gelombang. Ia memutuskan menjadi relawan dalam organisasi bernama Tsunami Volunteer Centre (TVC).

Pria tersebut menjadi pemimpin TVC dalam proyek pembangunan 67 rumah di Desa Tap Tawan, sebelah utara Khao Lak. Baginya, itu cara memulihkan jiwa yang masih dirundung duka dan trauma akibat tsunami.

"Begini caraku untuk melewati masa-masa pemulihanku. Ada banyak orang-orang yang membutuhkan, dan kondisinya lebih buruk daripadaku. Aku masih punya keluarga dan bisa membantu mereka. Jadi, kenapa tidak," kata Chaggar.

Setelah kembali ke Inggris, Chaggar memutuskan untuk mengambil kuliah S2 Program Studi yang berfokus pada Pemulihan Bencana. Tesisnya mengangkat soal bagaimana pemulihan Thailand usai bencana tsunami 2004. Tugas akhirnya itu diganjar penghargaan Andrew Lochhead Priz.

"Setelah itu, aku menjadi relawan profesional. Aku ke negara lain yang dilanda bencana, termasuk Peru," tandas Chaggar. (Riz/Mvi)


Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya