Misteri Sindrom 'Mabuk' Tanpa Minum Alkohol

Beberapa orang mengalami sindrom mabuk kendati ia tak minum alkohol setetespun.

oleh Indy Keningar diperbarui 03 Jan 2016, 12:31 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2016, 12:31 WIB
Kondisi ini Buat Orang Mabuk Tanpa Minum Alkohol
Orang-orang dengan sindrom auto-brewery akan mengalami 'mabuk' walau tak minum alkohol.

Liputan6.com, Nashville - Seorang wanita ditangkap karena terbukti menyetir dalam keadaan mabuk, seperti habis minum alkohol. Ia dibebaskan karena alasan pembelaan yang aneh: ia tidak minum alkohol.

Ini terjadi karena ada sindrom 'auto-brewery'--peracikan otomatis. Ada proses 'meracik' alkohol yang terjadi secara alami dalam pencernaannya. Setelah dijelaskan ia menderita sindrom itu, polisi akhirnya membebaskannya 

Sindrom auto-brewery mengakibatkan zat-zat dalam perut memfermentasikan makanan dan mengubahnya menjadi zat ethanol, sehingga tingkat alkohol dalam darah pengidapnya meningkat. Akibatnya, si pengidap menunjukkan gejala yang sama dengan orang-orang yang minum terlalu banyak alkohol, seperti teler dan linglung. Bahkan, bisa tercium bau alkohol di nafas pengidapnya.

Dr. Rickard Peek, dosen obat-obatkan dan biologi kanker di Vanderbilt University Medical Center, mengatakan bahwa walau serba-serbi gejalanya belum jelas, ada satu penyebab yang diduga.

"Zat ragi umumnya ada di saluran masuk makanan, dan kesamaan antar kasus yang dilaporkan, adalah adanya peningkatan jumlah candida (sejenis jamur parasit yang bisa menyebabkan sariawan)," lapor Peek pada ABC News, pada akhir Desember 2015.

"Ketika zat ragi bercampur dengan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi, karbohidrat menjadi penghasil ethanol," jelas Peek lagi

Menurut Peek, perubahan bakteri perut, yang disebut microbiome, memiliki berbagai efek, dan sindrom auto-brewery merupakan hasil yang ekstrem.

"Observasi ini menunjukkan kemampuan mikroba perut dalam beralih fungsi," ungkap Peek. "Mikroba mampu mencegah sekaligus menyebabkan penyakit seperti Irritable Bowel Syndrome (sindrom sensitifitas berlebihan pada pencernaan), dan terbukti memiliki kaitan dengan sindrom metabolisme, diabetes, dan lever."

Peek menyatakan studinya masih perlu untuk menetapkan penyebab pastinya, dan mencari obat yang bisa bekerja pada semua pengidapnya.

"Anda bisa saja merekomendasikan diet rendah kalori, dan dalam beberapa kasus, bisa mengatasi," tutur Peek.

Peek juga menekankan bahwa perawatan tersebut juga tidak bekerja untuk semua pengidap. "Anda bisa menyembuhkan pasien dengan obat-obatan anti-jamur untuk mengurangi beban di populasi bakteri," ujar Peek. 

Sebagian orang tak memiliki 'peracikan' di perut mereka, namun semua orang punya resiko ada perubahan populasi bakteria di perut yang diakibatkan oleh penyakit, antibiotik, dan kondisi lainnya.

Ia merekomendasikan perlunya pola makan yang baik, olahraga, dan probiotik untuk bakteria pencernaan yang sehat.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya