Liputan6.com, Islamabad - Rumah kontrakan itu terletak di pemukiman kelas menengah ke bawah di Multan, di antara bangunan-bangunan bobrok. Qandeel Baloch menyewanya untuk tempat tinggal kedua orangtuanya. Dan di sana lah ia tewas mengenaskan.
Di ruangan yang catnya sudah memudar, dengan perabotan yang jarang, seorang pria sepuh yang mengalami disabilitas, menangis sedih, hatinya luka.
Pria itu adalah Muhammad Azeem, ayah Qandeel. Ia berduka atas kepergian putri kesayangannya, yang tewas di tangan putranya sendiri -- atas nama kehormatan. Istrinya, Anwar Azeem duduk di dekatnya, di atas amben.
Perempuan itu terus gelisah, kadang ia tertidur, melupakan sejenak rasa duka yang mendera. Sesekali Anwar Azeem berbaring sambil menatap langit-langit.
Seperti itulah latar belakang Qandeel Baloch. Perempuan bernama asli Fozia Azeem tersebut dianggap 'agen provokator' budaya di Pakistan yang relatif konservatif.
Qandeel dikenal luas karena postingan-postingan vokalnya di media sosial, juga foto-fotonya yang menghebohkan. Dia menarik perhatian publik, sekaligus membuatnya jadi target kemarahan.
Penampilannya mungkin dinilai glamor, namun, sejatinya ia adalah perempuan yang sedang berjuang mengubah nasibnya.
Kondisi rumahnya mewakili perjuangan pribadinya, sebuah perjalanan panjang untuk lepas dari jerat kemiskinan dengan caranya sendiri.
Advertisement
"Kami berasal dari latar belakang yang miskin," kata Anwar Bibi, sang ibu, seperti dikutip dari BBC, Jumat (22/7/2016).
"Kami awalnya tinggal di desa kecil di Dera Ghazi Khan. Ayah Qandeel kemudian menjadi korban kecelakaan dan kehilangan kakinya. Anak perempuanku membawa kami ke sini, ke kota, sehingga ayahnya bisa mendapatkan pengobatan. Kami pun bisa hidup lebih baik."
Setelah insiden, sang ayah menghabiskan waktu dari satu kantor polisi ke kantor polisi lain -- susah payah melangkah menggunakan kruk -- untuk mencari keadilan. Ia ingin Waseem, putranya diganjar atas perbuatan membunuh Qandeel Baloch.
"Ia (Qandeel) membantu keuangan siapapun. Ketika ia mengirimkan uang, mereka (saudara-saudaranya) berdatangan. Kini, saat Waseem mencoba menemuiku di kantor polisi, aku bahkan tak sudi memandang wajahnya. Bagaimana bisa ia membunuh adiknya sendiri dengan kejam," kata Muhammad Azeem.
Waseem, tambah dia, tak tinggal bersama mereka. Namun, laki-laki itu tiba-tiba datang dan menginap saat tahu Qandeel akan pulang merayakan Idul Fitri.
Fakta di Malam Pembunuhan
Sang ibu, Anwar Azeem menceritakan bagaimana anak perempuannya kerap berbagi duka juga rahasia padanya.
"Ia kerap mengatakan pada saya, 'Putri Ibu sedang bekerja keras dan suatu saat akan meraih apa yang dicita-citakan'," kata Anwar Bibi -- nama akrabnya.
Adik lelaki korban, yang juga pembunuhnya, memendam kebencian pada Qandeel. "Awalnya kami tak peduli, namun belakangan kebencian itu kian buruk, pikirannya teracuni."
Hingga malam kejadian. Tak hanya membius Qandeel dengan obat penenang, Waseem juga memasukkan pil yang sama ke minuman orangtuanya.
"Suamiku dan aku tidur sangat nyenyak malam itu. Kami tak tahu telah minum susu yang telah terkontaminasi obat penenang," kata Anwar Bibi.
"Pagi harinya saya memanggil Qandeel untuk sarapan...namun ia tak bangun."
Tak terkira kagetnya perempuan itu ketika menemukan tubuh putrinya. "Seluruh wajahnya penuh memar, lidahnya hitam, bibirnya hitam," kata dia, menangis.
Hati Anwar Bibi luar biasa sakit. "Saat kejadian ia mungkin memanggil-manggil nama kami...ayah dan ibunya."
Sikap orangtua Qandeel yang memperjuangkan keadilan untuk putrinya -- meski melawan darah daging mereka sendiri, Waseem -- didukung pemerintah Provinsi Punjab.
Pemerintah memutuskan untuk memperlakukan kasus tersebut sebagai aksi kriminal, kejahatan. Hal itu mencegah keluarga Qandeel Baloch untuk memaafkan pelaku -- praktik yang biasa dilakukan dalam kasus 'pembunuhan atas nama kehormatan'.
Advertisement