Liputan6.com, Damaskus - Tak ada yang tahu kapan damai akan kembali menyapa di Suriah, sebuah negeri yang pernah menjadi pusat peradaban penting dunia pada masa lalu. Ribuan orang tewas akibat perang saudara dan aksi teroris, khususnya kaum Adam.
Para pria tewas dalam pertempuran, ditahan, atau dipaksa ke tempat pengasingan. Mereka meninggalkan istri dan anak-anak. Salah satu dampak dari kondisi itu adalah meningkatnya angka poligami.
Sumber resmi mengatakan bahwa pernikahan poligami yang terdaftar di Damaskus pada 2015 telah meningkat 30 persen dibandingkan tahun 2010 -- ketika konflik belum sedemikian parah di negara yang juga dikenal sebagai negeri Syam itu.
Salah satunya menimpa Maha. Enam bulan setelah suaminya tewas dalam perang saudara, ibu dua anak itu akhirnya memutuskan menikah lagi. Ia jadi istri kedua.
"Setelah suamiku meninggal, aku sendirian bersama anak-anakku, dan itu sungguh sulit," kata dia seperti dikutip dari Malay Online, Selasa (13/9/2016).
Maha menikahi pria yang masih terhitung sepupunya. "Kini saya hidup bersama istri pertama dan anak-anaknya. Itu keputusan yang sulit karena perempuan itu adalah sahabatku."
Sejak konflik pecah pada Maret 2011, angka poligami, juga perceraian meningkat di Suriah.
"Ada lebih banyak perempuan daripada pria di sini. Empat rekan dan juga aku memutuskan untuk menikahi para janda untuk menjaga reputasi mereka," jelas Mohammed, suami baru Maha.
Lebih dari 290 orang tewas di Suriah, jutaan lainnya memilih lari ke negara tetangga atau bertaruh nyawa melintasi samudera ganas ke negeri orang yang dianggap aman untuk mencari pengharapan.
Mereka yang memilih tinggal menghadapi kenyataan pelik, berjuang untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan, angka pengangguran tinggi, dan kekerasan.
Sebelumnya, aturan ketat poligami diberlakukan di Suriah. Namun, ketidakseimbangan yang diciptakan oleh perang mendorong lembaga keagamaan melonggarkan aturan.
"Banyak pria yang tewas, hilang ,atau pergi ke luar negeri," kata hakim Mahmud al-Maarawi, yang mengepalai pengadilan agama yang mengawasi utusan penganut Muslim Sunni di Suriah.
"Jadi ada lebih banyak perempuan daripada laki-laki, dan solusi dari persoalan itu, dari sudut pandang hukum dan agama adalah poligami," kata dia. "Itu telah memecahkan banyak masalah."
Bagi pihak perempuan, keputusan menikah lagi didasarkan atas persoalan ekonomi.
"Para perempuan yang pada kondisi normal menolak, kini setuju menikahi pria beristri yang bisa memenuhi kebutuhan dan memberikan perlindungan," kata psikolog Leila al-Sherif.
Perceraian Meningkat
Abu Adnan, pemilik rumah besar di Damaskus, 'terpaksa menikahi' perempuan yang menyewa propertinya.
"Dia tidak bisa membayar sewa, jadi aku memutuskan untuk menikahinya. Itu lebih baik daripada ia terlantar di jalanan," kata pria 46 tahun itu.
Adnan mengaku, istri pertamanya rela dimadu. "Kami belum memiliki anak. Dia berharap aku bisa memiliki anak laki-laki."
Sementara, Sabah al-Halabi mengaku, suami pertamanya menelantarkannya dan anak-anak setelah kehilangan pekerjaannya pada awal konflik pecah.
Baca Juga
Masih ada dua anaknya yang belum menikah dan butuh nafkah. Karena itulah, ia menikahi Mamduh (68) yang usianya 24 tahun lebih tua darinya. Pria itu sudah punya satu istri.
Advertisement
"Saya menikah lagi karena demi kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak saya," kata dia.
Perang juga telah meningkatkan jumlah perceraian. Data menunjukkan, ada 7.000 kasus pada tahun 2015, meningkat 25 persen dari 5.318 pada tahun 2010 lalu.
Menurut hakim Maarawi, sejumlah pasangan terpaksa cerai karena tak mampu menanggung tekanan ekonomi. Lainnya pisah karena pasangannya ingin pindah, sementara suami atau istrinya tak mau ambil risiko melakukan perjalanan jauh atau berpisah dari keluarga besarnya.
Dalam beberapa kasus, pria Suriah menjatuhkan talak setelah bertemu perempuan lain di luar negeri, atau istri menceraikan pasangan yang meninggalkannya.