Liputan6.com, Kolombo - Hari itu, Jumat 25 September 1959, tepat 57 tahun lalu, nasib tragis menimpa Perdana Menteri (PM) Sri Lanka, Solomon West Ridgeway Dias (SWRD) Bandaranaike. Sang kepala pemerintahan itu tewas ditembak di kantornya pada pagi hari. Usianya berakhir di angka 60.
Ketika itu, seperti dimuat Daily Mirror, Bandaranaike tengah menerima kunjungan beberapa tamu penting, termasuk si pelaku penembakan, seorang biksu sekaligus dosen bernama Ven. Talduwe Somarama Thero. Ia datang untuk menyampaikan aspirasi demi memajukan kampusnya, Institut Farmasi Universitas Ayurveda di kawasan Borella.
Situasi di kantor perdana menteri ketika itu ramai, karena tak hanya Somarama yang ingin bersua, tapi juga sejumlah tokoh lain, seperti biksu bernama Ananda Thero. Ia datang bersama sejumlah petani dari daerah Polonnaruwa untuk menyampaikan aspirasi terkait pertanian.
Setelah menunggu beberapa menit, pada akhirnya Somarama mendapat kesempatan untuk masuk ke ruang PM Bandaranaike. Biksu Ananda juga masuk berbarengan. Pembicaraan awal berlangsung begitu hangat. PM Bandaranaike menyambut kedua pemuka agama dengan rasa hormat.
Baca Juga
Somarama mengemukakan kebutuhan yang diperlukan kampus Ayurveda untuk mengembangkan keilmuan farmasi. Dan Bandaranaike menyatakan siap membantu dan akan langsung menginstruksikan Menteri Kesehatan agar menindaklanjutinya.
Alih-alih memberikan respons positif, entah kenapa, tiba-tiba Somarama mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke arah PM Bandaranaike ke arah dada dan perut. Bandaranaike tersungkur jatuh. Dia mencoba berdiri dan melarikan diri. Sementara biksu lain di lokasi terperangah kaget.
Somarama kembali melepaskan tembakan ke arah perdana menteri yang tengah berjalan terpincang. Hingga membuatnya luka parah. Saat itu, suasana begitu mencekam. Sang kepala pemerintahan berteriak histeris. Aparat setempat langsung menangkap Somarama, sedangkan perdana menteri dilarikan ke rumah sakit.
Penembakan terhadap PM Bandaranaike ini sungguh tak terduga lantaran selama ini ia dikenal sebagai pemimpin yang baik, merakyat dan tidak punya musuh.
Advertisement
Atas situasi itu, penjagaan di kantor perdana menteri Sri Lanka tidak begitu ketat. Aparat juga sengaja tak memeriksa biksu yang hendak masuk, karena sudah sangat dipercaya.
Pembunuhan ini dilandasi motif politik. Kala itu, ada dua kubu di pemerintahan, yakni kubu kanan dan kiri. Kubu kanan saat itu mengkhawatirkan kekuasaan kiri yang dominan. Sehingga disinyalir kuat, PM Bandaranaike dibunuh untuk mengurangi kekuasaan kubu kiri.
Somarama diadili dan dijatuhi hukuman gantung tiga tahun kemudian karena terbukti melakukan pembunuhan berencana. Sementara beberapa orang lain yang terlihat konspirasi pembunuhan dihukum penjara.
'Janda Menangis'
Pembunuhan Bandaranaike membuat sang istri mendapat julukan baru, 'weeping widow' yang berarti janda menangis.
Sirimavo Bandaranaike, nama perempuan itu, kemudian terjun ke dunia politik menggantikan sang suami, meski ia menikmati kehidupannya selama ini jadi ibu rumah tangga sekaligus istri perdana menteri.
Dilansir dari BBC on This Day, julukan 'janda menangis' melekat pada Bandaranaike karena ia sering meledak-ledak dan menangis selama kampanye pemilu untuk menjadi PM Sri Lanka. Ia juga kerap berjanji untuk melanjutkan kebijakan sosialis mendiang suaminya.
Partainya, Sri Lanka Freedom Party (SLFP) meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan umum pada 20 Juli 1960. Memenangkan Bandaranaike 75 dari 150 kursi. Menjadikan Sirimavo Bandaranaike sebagai perempuan pertama di dunia yang menjabat sebagai Perdana Menteri.
Sirimavo Bandaranaike menjabat Perdana Menteri Sri Lanka untuk tiga kali kurun waktu, yaitu pada periode 1960-1965, 1970-1977, dan 1994-2000.
Sejarah lain mencatat pada 25 September 1810, Herman Willem Daendels meresmikan pindahnya kota Bandung yang dipimpin Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Tanggal 25 September kemudian diperingati sebagai hari jadi kota Bandung.
Sementara itu, pada 25 September 1962, Republik Demokratik Aljazair secara resmi berdiri di mana Ferhat Abbas terpilih menjadi presiden.