Liputan6.com, Lima - Tepat hari ini, 28 tahun yang lalu terjadi operasi penyelamatan penting yang menjadi bagian dari sejarah Peru.
Kala itu, 22 April 1997, pasukan menyerbu Kedutaan Besar Jepang di Peru dan berhasil membebaskan semua kecuali satu dari 72 sandera yang disekap oleh kelompok pemberontak anti pemerintah. Aksi ini sekaligus mengakhiri pengepungan/penyanderaan selama empat bulan terhadap gedung tersebut.
Advertisement
Berdasarkan laporan BBC On This Day yang dikutip pada Selasa (22/4/2025), tercatat bahwa dalam operasi penyelamatan itu, sebanyak 14 anggota kelompok pemberontak, termasuk pemimpinnya Nestor Cerpa Cartolini, tewas. Satu orang sandera, Hakim Mahkamah Agung Carlos Giusti Acuna, meninggal dunia, bersama dua tentara Peru.
Advertisement
Aksi dramatis itu dimulai sekitar pukul 15.30 waktu setempat (20.30 GMT), ketika sekitar 15 tentara bersenjata lengkap dengan penutup wajah memasuki kompleks gedung lewat atap.
Tak lama setelahnya, ledakan besar terdengar dan menyebabkan lubang besar di atap. Beberapa ledakan kecil lainnya diduga berasal dari jebakan yang ditinggalkan pemberontak.
Serangan berlangsung selama 40 menit. Di tengah suara tembakan yang memekakkan telinga, para sandera terlihat tertatih, merangkak, bahkan digotong keluar dari gedung. Beberapa di antaranya mengalami luka-luka.
Dua di antaranya adalah Menteri Luar Negeri Peru saat itu, Francisco Tudela, dan Duta Besar Jepang untuk Peru, Morihita Aoki.
Setelah baku tembak berakhir, tentara yang bersorak kegirangan menurunkan bendera pemberontak dari atap gedung. Presiden Peru saat itu, Alberto Fujimori, kemudian hadir dan bergabung dengan beberapa mantan sandera menyanyikan lagu kebangsaan Peru.
Langkah Berisiko dari Presiden Fujimori
Presiden Fujimori mengaku mengambil tanggung jawab penuh atas keputusan mengejutkan untuk melancarkan operasi militer.
Langkah tersebut dinilai sangat berisiko, terutama karena pemerintah Jepang mitra dagang utama Peru sebelumnya mendorong agar penyelesaian dilakukan lewat jalur negosiasi.
Namun, Fujimori tetap menjalankan rencana tanpa memberitahu pihak Jepang.
Perdana Menteri Jepang saat itu, Ryutaro Hashimoto, menyatakan penyesalan atas keputusan tersebut, namun tetap menyampaikan apresiasi kepada Presiden Fujimori.
“Yang terpenting bukan apakah kami mengetahui rencana tersebut sebelumnya, tetapi bahwa para sandera berhasil dibebaskan,” kata Hashimoto.
Krisis penyanderaan bermula pada 17 Desember 1996, saat kelompok pemberontak berpaham Marxis menyerbu pesta koktail diplomatik di kedutaan dan menyandera lebih dari 400 tamu. Sebagian besar dibebaskan dalam beberapa hari.
Diperkirakan, Kedutaan Jepang dipilih karena Jepang dikenal sebagai pendukung kuat Presiden Fujimori, yang memiliki garis keturunan Jepang.
Fujimori sendiri telah membangun reputasi politiknya sebagai pemimpin yang keras terhadap pemberontak, termasuk kelompok Shining Path dan Tupac Amaru. Keberhasilan operasi ini semakin memperkuat citranya sebagai pemimpin yang tegas terhadap terorisme.
Advertisement
Bantuan dari Pasukan Elit Inggris
Laporan setelah kejadian mengungkapkan bahwa pasukan keamanan yang mengakhiri drama penyanderaan selama empat bulan mendapat dukungan dari Special Air Service (SAS), yang telah mempersiapkan operasi tersebut selama dua pekan. Mereka menggali jaringan terowongan di bawah kedutaan, memasang alat penyadap, dan memantau pergerakan sandera serta pemberontak.
Sebagian besar anggota pemberontak tewas saat terowongan yang dipasangi bahan peledak diledakkan ketika mereka sedang bermain sepak bola.
Sementara itu, meski menuai pujian aksi militer ini tak lepas dari kontroversi. Setelah Presiden Fujimori mengundurkan diri pada November 2000 akibat skandal suap yang menyeret Kepala Intelijen Vladimiro Montesinos, muncul dugaan pelanggaran HAM dalam operasi tersebut.
Montesinos sendiri bersembunyi selama delapan bulan.
Pada Maret 2001, jenazah ke-14 pemberontak digali kembali untuk penyelidikan menyusul tuduhan bahwa beberapa dari mereka dieksekusi setelah menyerah.
Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa setidaknya tiga pemberontak ditembak mati dalam kondisi telah menyerah.
Pada 2002, Montesinos didakwa memerintahkan pembunuhan itu kepada aparat intelijen. Tuduhan tersebut menjadi bagian dari 70 dakwaan lain yang dihadapi Montesinos, meski ia belum diadili untuk kasus itu.
Vladimiro Montesinos kemudian dijatuhi hukuman penjara 15 tahun atas dakwaan penggelapan, konspirasi, dan korupsi.
