Liputan6.com, New Delhi - Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat India terbiasa menyimpan uang ratusan ribu bahkan jutaan rupee dalam bentuk tunai berupa uang kertas pecahan 500 rupee dan 1.000 rupee.
Berbagai transaksi yang dilakukan secara tunai oleh masyarakat India membuat uang mereka sama sekali tidak pernah dipotong pajak. Itulah mengapa muncul julukan 'black money' atau uang gelap.
Namun, kini pemerintah menginginkan pajak dari timbunan harta berupa uang tunai tersebut. Strateginya adalah memaksa rakyat untuk 'mengeluarkan' harta mereka dengan menghapus uang kertas pecahan 500 rupee dan 1.000 rupee yang merupakan denominasi tertinggi di India.
Advertisement
Sebagai gantinya, pemerintah akan merilis uang kertas pecahan 500 rupee dan 2.000 rupee dengan fitur keamanan baru. Tak dijelaskan mengapa penarikan 1.000 rupee justru digantikan dengan denominasi yang lebih tinggi.
Meski demikian, beberapa institusi masih menggunakan uang pecahan lama sampai 24 November mendatang seperti rumah sakit milik pemerintah, sarana transportasi dan layanan umum lainnya.
Mau tidak mau, rakyat di Negeri Hindustan pun harus menukarkan uang lama mereka dengan uang baru.
Penghapusan 500 rupee dan 1.000 rupee ini diumumkan oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi pada 8 November lalu. Dan seketika memicu kehebohan.
PM Modi menegaskan, kebijakannya ini ditujukan untuk mengatasi korupsi, kepemilikan uang tunai ilegal, serta pencucian uang.
Orang-orang pun berbondong-bondong datang ke bank untuk menukar uang mereka dengan pecahan yang lebih kecil atau pecahan baru. Pemerintah menetapkan batas akhir penukaran adalah 30 Desember 2016.
Bagi golongan menengah ke atas, mereka hanya diizinkan menukar hingga 250 ribu rupee tanpa harus memberikan bukti pembayaran pajak. Beberapa dari mereka memilih untuk membayar warga miskin, memanfaatkan rekening mereka sebagai perantara penukaran uang.
Sementara itu, ada pula yang memilih untuk pergi ke toko perhiasan dan butik desainer. Mereka memohon agar dapat berbelanja dengan uang lama.
"Mereka merasa, 'lebih baik memiliki pakaian yang indah dibanding mengubah uangku menjadi tisu toilet'," ujar Direktur Eksekutif Ensemble Group, pemilik toko busana kelas atas, Tina Tahiliani Parik seperti dilansir The New York Times, Senin (21/11/2016).
"Sejumlah orang muncul dengan koper berisi uang tunai. Mereka meminta staf kami untuk berpura-pura bahwa pembelian telah dilakukan sehari sebelum uang tersebut dihapus, namun staf kami menolaknya," kata Parik.
Beberapa di antaranya memilih pasrah dibanding harus terlibat dengan investigasi pajak. Mereka memilih mengisi sarung bantal dan tas dengan mata uang lama sebelum akhirnya dibuang ke tempat sampah. Belum lama ini lembaran 1.000 (setara dengan US$ 15 dolar) ditemukan mengambang di Sungai Gangga.
Sekitar sepertiga seluruh bisnis di India menggunakan uang hitam. Sebut saja seperti perumahan, perdagangan, retail mewah, dan penjual jasa perlengkapan pernikahan. Semuanya dilaporkan telah merosot tajam menyusul diberlakukannya kebijakan penarikan uang kertas ini.
Warga India rela antre berjam-jam untuk menukar uang lama mereka dengan uang kertas baru pecahan 2.000 rupee. Atau mereka bisa menarik 2.500 rupee dari anjungan tunai mandiri (ATM) setiap harinya. Namun tak jarang antrean mereka sia-sia karena bank kehabisan uang kertas baru.
Pada Jumat lalu, Mahkamah Agung India telah menolak gugatan pihak yang menentang kebijakan PM Modi tersebut. MA mengatakan bahwa orang-orang terlalu panik dan kasus ini mengindikasikan persoalan serius.
Di lain sisi, Ketua Asosiasi Perbankan India mengatakan bahwa seluruh bank nasional akan membatasi pertukaran uang bagi warga berusia lanjut dan nasabah mereka sehingga staf bank mereka dapat fokus pada operasi normal perbankan.
Para analis mengatakan, perekonomian India sangat bergantung pada 'black money' dan serangan terhadap hal tersebut dapat menyebabkan persoalan serius.
"Dalam sebuah ekonomi pasar seperti India, di mana korupsi sudah berakar dan tahan lama, tak ada jalan untuk meletakkan reformasi tanpa gangguan signifikan dalam jangka pendek," ujar seorang profesor ekonomi di Cornel University, Eswar S. Prasad.
Trik Orang Kaya
Novelis asal Mumbai, Namita Devidayal dalam kolom Times of India pekan lalu menggambarkan bagaimana trik perempuan-perempuan kaya India 'menyelamatkan' timbunan uang tunai mereka.
Beberapa mencoba untuk membayar gaji para pekerja di muka untuk satu tahun ke depan dengan menggunakan mata uang lama.
Mereka 'mengkondisikan' seolah-olah uang tersebut dapat ditukarkan ke mata uang baru karena jumlah totalnya di bawah US$ 3.700.
Ada pula yang membayar di muka untuk layanan penataan rambut selama satu tahun ke depan sementara beberapa lainnya berusaha 'memaksa' pelatih kebugaran, guru yoga, dan guru les anak mereka untuk mengambil bayaran di muka.
"Orang-orang kaya selalu berusaha menemukan beberapa solusi untuk menghindari pajak dan sejauh ini mereka adalah para pengambil keuntungan terbesar dari sistem penggelapan pajak," ujar Devidayal.
Kekacauan yang dipicu PM Modi itu diperparah dengan kondisi ATM di India. Negara yang memiliki kurang lebih 1,3 miliar penduduk itu dilaporkan hanya memiliki sekitar 200 ribu ATM.
PM Modi sendiri sempat mengatakan, ia rela dihukum jika masalah yang terjadi akibat penghapusan uang kertas tersebut gagal diselesaikan pada akhir tahun ini.