Liputan6.com, Honolulu - Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden AS Barack Obama melakukan kunjungan ke Pearl Harbor pada Selasa 27 Desember 2016. Kegiatan itu sebagai peringatan serangan yang terjadi pada 1941 dan memakan korban sebanyak 2.403 orang.
Dikutip dari Reuters, Rabu (28/12/2016), kunjungan itu bertujuan untuk menegaskan hubungan AS-Jepang dalam menghadapi kebangkitan China, dan di tengah-tengah kekhawatiran bahwa Trump akan memiliki hubungan yang lebih rumit dengan Jepang.
Abe dan Obama melakukan kegiatan itu di USS Arizona Memorial, yang dibangun di atas sisa-sisa kapal perang tenggelam. Meski Abe merupakan Perdana Menteri Jepang keempat yang mengunjungi Pearl Harbor, ia menjadi PM pertama yang mengunjungi memorial.
Advertisement
"Kita harus tak mengulangi kengerian perang lagi. Ini adalah sumpah kami, warga Jepang," ujar Abe.
"Untuk jiwa-jiwa prajurit yang berbaring abadi di USS Arizona, kepada rakyat Amerika, dan untuk semua orang di seluruh dunia, saya berjanji teguh di sini sebagai Perdana Menteri Jepang," imbuh dia.
Pasukan Jepang menyerang pangkalan angkatan laut AS, Pearl Harbor, dengan torpedo, bom, dan pesawat tempur pada 7 Desember 1941 pagi.
Obama yang pada awal tahun ini mengunjungi Hiroshima, kota di mana AS menjatuhkan bom atom pada 1945, menyebut kunjungan Abe sebagai "sebuah pengingat bahwa luka terdalam perang dapat memberikan cara untuk menjalin persahabatan dan perdamaian abadi."
Keduanya berdiri dengan khidmat di depan tembok yang bertuliskan nama-nama mereka yang tewas dalam serangan, dilanjutkan meletakkan karangan bunga, dan diikuti dengan mengheningkan cipta.
Setelah menyampaikan sambutannya, kedua pemimpin menyambut para veteran AS yang selamat dari serangan.
Pertemuan para pemimpin itu juga dimaksudkan untuk memperkuat kemitraan AS-Jepang menjelang pelantikan Trump menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2017. Pria yang diusung Partai Republik itu menyatakan sikapnya yang bertentangan dengan pakta perdagangan Trans-Pacific Partnership.
Pada November lalu, Shinzo Abe menjadi pemimpin negara pertama yang bertemu Trump, dan menyebutnya "pemimpin yang dapat dipercaya".