Detik-Detik Turki Gelar Referendum Bersejarah

Referendum kelak memutuskan apakah Turki akan bertahan dengan sistem parlementer atau berganti menjadi sistem presidensial.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 16 Apr 2017, 11:01 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2017, 11:01 WIB
Presiden Recep Tayyip Erdogan saat berkampanye mendukung reformasi konstitusi yang memungkinkannya meraih kekuasaan lebih luas
Presiden Recep Tayyip Erdogan saat berkampanye mendukung reformasi konstitusi yang memungkinkannya meraih kekuasaan lebih luas (AP/Lefteris Pitarakis)

Liputan6.com, Istanbul - Dalam hitungan jam, Turki akan menggelar referendum untuk menentukan sistem pemerintahannya. Presiden Recep Tayyip Erdogan berusaha menggantikan sistem parlemen yang kini dianut negara itu dengan sistem presidensial yang memungkinkannya meraih kekuasaan lebih luas.

Jika disetujui, maka Presiden Erdogan akan berkuasa hingga tahun 2029. Para pendukung referendum mengatakan, kelak sistem presidensial akan merampingkan dan memodernisasi negara, sementara itu para penentang khawatir justru langkah tersebut akan membuat pemerintahan semakin otoriter.

Sistem presidensial akan memberikan presiden wewenang untuk menunjuk pejabat publik termasuk menteri dan wakil presiden, mengeluarkan dekrit, memilih hakim senior serta campur tangan dalam peradilan, bahkan membubarkan parlemen.

Kampanye yang terpolarisasi di negara itu dapat membawa perubahan terbesar dalam sistem yang telah diatur sejak Turki menjadi republik modern, sekitar satu abad lalu. Referendum akan berlangsung di bawah status darurat yang diterapkan sejak kudeta militer gagal pada Juli 2016.

Di hadapan pendukungnya di Distrik Tuzla dalam hari terakhir kampanye, Presiden Erdogan mengatakan, "Konstitusi baru akan membawa stabilitas dan kepercayaan yang dibutuhkan negara untuk tumbuh dan berkembang. Turki dapat melompat ke masa depan".

Erdogan menjadi presiden pada tahun 2014 setelah sebelumnya ia menjabat sebagai perdana menteri lebih dari satu dekade.

Bila kelak kampanye Erdogan sukses maka jabatan perdana menteri akan dihapuskan. Dan presiden akan membawahi seluruh birokrasi negara.

Seperti dikutip dari BBC, Minggu, (16/4/2017), Erdogan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan baru akan menyerupai seperti yang diterapkan di AS dan Prancis. Menurutnya, sistem yang baru akan menyelesaikan sejumlah persoalan seperti pemberontakan, militan Islam, dan konflik di Suriah yang memicu gelombang besar pengungsi.

Meski demikian para kritikus khawatir, menempatkan seluruh kekuasaan dalam genggaman presiden tanpa "checks and balances" akan menimbulkan masalah lain. Mereka sampaikan, kemampuan Erdogan untuk mempertahankan hubungan dengan partai politik -- di mana ia merupakan pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) -- akan memicu ketidakberpihakan presiden.

Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi utama asal Partai Rakyat Republik (CHP) mengatakan, jika referendum memenangkan suara "Yes" maka bahaya akan melanda seluruh negeri.

"Seperti kita akan mengangkut 80 juta orang dengan menggunakan bus...yang tujuannya tidak diketahui. Kita menempatkan mereka dalam sebuah bus tanpa rem," ujarnya.

Hasil jajak pendapat yang akan menentukan masa depan rakyat Turki ini akan dapat diketahui pada Minggu malam waktu setempat.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya