Liputan6.com, Doha - Pada Senin 4 Juni 2017 lalu, dunia dikejutkan dengan pernyataan Arab Saudi yang memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar.
Langkah negara yang dipimpin oleh Raja Salman diikuti oleh sejumlah negara, yakni Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain.
Tak lama setelah itu, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania mengambil langkah serupa. Sementara, Yordania mengambil jalan yang sedikit berbeda. Tidak memutuskan, namun Yordania men-downgrade hubungannya dengan Qatar.
Advertisement
Perwujudan kebijakan tersebut dilakukan dengan cara mengurangi jumlah perwakilan diplomatik Yordania di Qatar dan mencabut izin TV Al Jazeera.
Semua negara punya alasan serupa, seperti dikutip dari kantor berita Arab Saudi SPA, pemutusan hubungan diplomatik diperlukan untuk melindungi mereka dari terorisme dan ekstremisme.
Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Alasan terorisme mungkin sekadar naratif.
Dikutip dari Bloomberg pada Kamis (8/6/2017), pengucilan Arab Saudi terhadap Qatar terkait konflik lama pada 22 tahun lalu, tepatnya tahun 1995. Perseteruan itu terkait dengan gas alam yang dimiliki Qatar.
Kala itu, Hamad bin Khalifa Al Thani -- ayah emir Qatar saat ini, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani -- melengserkan penguasa sebelumnya yang pro-Saudi.
Ia mengambil alih kekuasaan dari ayahnya sendiri, Khalifa bin Hamad Al Thani, yang saat itu sedang berlibur di Jenewa.
Pada saat bersamaan, negeri kecil di ujung sebuah semenanjung kecil di Jazirah Arab melakukan pengiriman perdana gas alam cair dari reservoir atau cadangan terbesar di dunia di lepas pantai North Field -- yang luasnya setara dengan wilayah Qatar.
Qatar berbagi pengelolaan North Field dengan Iran, negara yang amat dibenci oleh Arab Saudi. Dari situlah, kedua tetangga itu memendam api dalam sekam.
Cadangan gas alam dalam jumlah besar itu tak hanya mengubah Qatar menjadi salah satu negara terkaya di dunia, dengan pendapatan per kapita tahunan mencapai US$ 130 ribu, tapi juga menjadi eksportir LNG terbesar di dunia.
Fokus Qatar pada pengelolaan gas, membuat negara itu berjarak dengan para tetangganya di Gulf Cooperation Council atau Dewan Kerja Sama Teluk yang menyandarkan perekonomiannya pada minyak bumi -- sekaligus menjauhkannya dari dominasi Arab Saudi.
Alih-alih dengan Riyadh, Qatar menjalin hubungan dengan Iran, Amerika Serikat, dan baru-baru ini Rusia.
Salah satu pangkalan militer AS di Teluk ada di Qatar. Sementara, belakangan, Badan Investasi Pemerintah Qatar setuju untuk menginvestasikan dana sebesar US$ 2,7 miliar ke perusahaan Rusia, Rosneft Oil Co. PJSC.
"Qatar dulunya adalah negara bawahan (vassal state) Arab Saudi. Namun, berkat kekayaan gas alamnya, ia berhasil melepaskan diri (dari dominasi Riyadh)," kata Jim Krane, peneliti dari Baker Institute, Rice University di Houston, Texas.
"Negara lainnya di wilayah menanti kesempatan untuk mempreteli sayap Qatar."
Upaya itu pernah dilakukan pada 1996, dalam bentuk kudeta terhadap emir saat itu, Hamad bin Khalifa Al Thani. Hasilnya, gagal.
Dalam persidangan tahun 2000, dua pejabat senior Qatar yang diduga terlibat dalam penggulingan emir mengaku, Bahrain membantu mengorganisasi penggulingan pemerintah yang sah dibantu oleh Arab Saudi, demikian dilaporkan BBC.
Emir kala itu tak membangun jaringan pipa yang mengintegrasikan Qatar ke pasar para tetangganya di Teluk.
Di sisi lain, saat itu, negara-negara minyak tak menganggap gas alam berguna. Fungsinya hanya untuk disuntikkan ke sumur minyak untuk meningkatkan tingkat ekstraksi.
Hanya ada satu jaringan pipa yang dibangun, yakni proyek Dolphin yang menghubungkan North Field ke Uni Emirat Arab dan Oman, telah beroperasi pada kapasitas setengah sampai dua pertiga.
Kontrak yang ditandatangani tahun lalu harus memenuhi kuota yang ditetapkan. Sebagian besar gas alam Qatar mengalir ke pasar Asia dan Eropa.
Efek Donald Trump
Kesempatan untuk melemahkan Qatar kembali muncul pada 2017 ini. Pasca-kunjungan Donald Trump.
Trump cenderung condong ke Timur Tengah. Beda dengan pendahulunya, Barack Obama yang cenderung 'negatif' -- khususnya untuk isu nuklir Iran 2015 dan perang saudara di Yaman yang didukung oleh Arab Saudi.
Arab Saudi adalah negara pertama yang dikunjungi Trump usai resmi menjabat sebagai penguasa Gedung Putih.
Sejak kunjungannya pada Mei 2017, ia telah melakukan kalibrasi ulang hubungan AS dengan Arab Saudi.
Cara yang dilakukan AS adalah dengan tidak terlalu menekan Arab Saudi dalam isu HAM. Sebelumnya, kedatangan pejabat tinggi negara petro-dollar itu ke Washington DC pada awal 2017 juga disambut hangat.
Hubungan 'positif' itu diikuti dengan penandatanganan kontrak senjata dan pertahanan antara AS dan Arab Saudi senilai US$ 147 miliar.
Sikap pemerintahan Presiden Trump yang anti-Iran juga menyenangkan negara-negara Teluk.
"Semua hal itu membuat mereka (koalisi Arab Saudi) menjadi merasa lebih berani untuk bertindak," kata Profesor James Piscatori, Wakil Direktur Pusat Studi Arab dan Islam Australian National University.
Advertisement