5 'Ladang Konflik' Antara Donald Trump dan Negara Anggota G20

Pada 7-8 Juli, Trump akan bertemu dengan 19 pemimpin dunia yang tergabung dalam G20. Beberapa di antaranya pernah berseteru dengannya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Jul 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2017, 17:00 WIB
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump (AP Photo/Alex Brandon)

Liputan6.com, Washington, DC - Sejak menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, kebijakan dan pernyataan Donald Trump kerap mengundang gesekan dengan sejumlah kepala negara. Dan pada hitungan jam, Trump akan bertemu beberapa pemimpin dunia yang berbeda pandangan dengannya terkait sejumlah isu krusial dalam ajang KTT G20 di Hamburg, Jerman, pada 7 dan 8 Juli 2017.

Selaku tuan rumah, Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, ia ingin pertemuan tingkat tinggi tersebut fokus pada sejumlah isu global, semisal perubahan iklim dan perdagangan bebas. Trump diketahui "bentrok" dengan sejumlah pemimpin dunia terkait isu-isu tersebut dan beberapa persoalan lainnya.

Forum G20 beranggotakan 20 "raksasa" perekonomian dunia, seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Inggris, China, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, Turki, dan Uni Eropa.

Tujuan G20 sendiri adalah menjadi wadah untuk bersama-sama mendiskusikan berbagai isu kunci perekonomian dunia.

Seperti dikutip dari CNN pada Kamis (6/7/2017), berikut sejumlah isu kunci yang kemungkinan akan dibahas dalam pertemuan G20 dan menjadi "ladang konflik" antara Trump dan sejumlah pemimpin dunia:

1. Perubahan Iklim

Trump menunjukkan sikap sangat bertolak belakang dengan pendahulunya, Barack Obama, dalam isu perubahan iklim.

Obama membawa AS masuk dalam jajaran negara-negara yang mendukung Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim. Sementara Trump pada Juni lalu menarik AS keluar dari perjanjian tersebut.

Kesepakatan Paris yang tercapai pada 2015 tersebut sejatinya mengikat Negeri Paman Sam dan negara-negara anggota lainnya untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah dua derajat Celcius.

Demonstran membawa spanduk saat aksi di dekat Gedung Putih di Washington, AS, Kamis (1/6). Demonstran memprotes keputusan Donald Trump yang menarik AS dari perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang disepakati pada 2015. (AP/ Susan Walsh)

Hanya dua negara yang tidak menandatangani kesepakatan tersebut, yakni Suriah dan Nikaragua. Pasca-kebijakan kontroversial Trump, kini AS nyaris bergabung bersama mereka.

Dalam sebuah pidatonya pekan lalu, Merkel menyinggung kebijakan Trump tanpa menyebut langsung nama sang presiden. Ia katakan, "Kita tak bisa menunggu orang-orang terakhir di Bumi yakin dengan bukti ilmiah (perubahan iklim)."

Pada isu ini, Trump dipastikan akan menghadapi tantangan besar, mengingat seluruh pemimpin negara-negara G20 berseberangan dengan kebijakannya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, PM India Narendra Modi, dan PM Australia Malcolm Turnbull telah menyuarakan ketidakpuasan mereka atas keputusan Trump.

2. Perdagangan Bebas

Kebijakan pertama Trump setelah dilantik pada 20 Januari lalu adalah mengeluarkan AS dari keanggotaan perjanjian perdagangan Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP). Langkah ini merupakan realisasi atas janji kampanyenya.

TPP berisikan 12 negara dan kemitraan ini diinisiasi oleh Obama demi memperkuat kebijakan AS di kawasan Asia Pasifik. Tanpa AS, TPP runtuh mengingat pakta perdagangan bebas tersebut membutuhkan ratifikasi dari setidaknya enam negara penyumbang total 85 persen produk domestik bruto (PDB) dari seluruh anggota.

Presiden China Xi Jinping mengomentari kebijakan Trump tersebut. Ia mengatakan, negaranya akan tetap berkomitmen untuk mempromosikan perdagangan bebas dan investasi melalui keterbukaan dan mengatakan tidak pada proteksionisme.

Trump yang dinilai anti-perdagangan bebas dikhawatirkan juga akan menarik AS keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang beranggotakan Meksiko dan Kanada.

Sejak masa kampanye, Trump telah mengatakan bahwa pakta ekonomi yang terjalin sejak 1994 ini tidak membawa keuntungan bagi AS. Menurutnya pula, NAFTA secara tidak adil merampas pekerjaan warga AS.

Namun, pada April lalu sikapnya melunak. Trump menyampaikan AS akan tetap terikat NAFTA, tetapi ada negosiasi ulang dengan Kanada dan Meksiko.

Isu perdagangan juga menciptakan "ladang konflik" antara AS dan sejumlah negara, seperti Brasil, Kanada, Uni Eropa, China, Jerman, Jepang, dan Meksiko. Trump mengkritik para pemasok baja yang disebutnya telah memanipulasi harga.

Para ahli khawatir perang dagang dapat muncul jika Trump meningkatkan tarif baru impor baja.

Dalam kasus lain, Trump juga pernah melabeli China sebagai manipulator mata uang.

3. NATO

Trump telah berulang kali menyebut Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sudah usang.

Ia mengkritik kontribusi ekonomi para anggota NATO dan mendesak mereka meningkatkan anggaran belanja pertahanan sebesar dua persen dari GDP masing-masing negara.

Menteri Pertahanan AS James Mattis dan Sekjen NATO Jens Stoltenberg (AP Photo/Virginia Mayo, Pool)

Belakangan, Trump menunjukkan perubahan. Dalam pidatonya pada Juni lalu, ia menekankan komitmen AS terhadap NATO juga pada prinsip bahwa serangan terhadap satu negara anggota merupakan serangan terhadap semua.

Sejumlah anggota NATO seperti Uni Eropa, Kanada, dan Turki juga merupakan anggota G20.

4. Imigran

Kebijakan Trump untuk melarang warga dari negara-negara mayoritas berpenduduk muslim masuk ke AS ditentang kebanyakan pemimpin G20, di antaranya Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Turki, dan Australia.

PM Inggris Theresa May menyebut larangan tersebut "memecah belah dan salah".

Pada kasus lain, Trump juga berseteru dengan Meksiko. Sejak kampanye ia berjanji akan membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko untuk mencegah masuknya imigran gelap dan penyelundup narkoba.

Trump menilai, selama ini Meksiko telah mengambil banyak keuntungan dari AS dalam waktu yang cukup lama.

Melalui media sosial kesayangannya, Twitter, pada 27 Januari Trump berkicau, "Defisit perdagangan yang masif dan sedikit bantuan di perbatasan yang sangat lemah harus diubah, sekarang!"

5. Korea Utara

Kepada Bloomberg News, Trump pernah mengatakan bahwa ia akan merasa terhormat untuk bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Namun, tensi tinggi antara Washington dan Pyongyang yang dipicu ambisi nuklir Korut dan kematian seorang mahasiswa asal AS Otto Warmbier telah membuat Trump frustrasi menghadapi negara itu.

Pemimpin Korut, Kim Jong-un bertepuk tangan usai peluncuran rudal balistik antarbenua Hwasong-14, ICBM, di barat laut Korea Utara. Uji rudal balistik antarbenua ini diumumkan pada hari Selasa, 4 Juni 2017. (KRT via AP Video)

Dalam isu nuklir Korut, Trump mau tidak mau harus berurusan dengan Tiongkok, mengingat Beijing merupakan sekutu utama Pyongyang. Namun di lain sisi, langkah AS yang menerapkan sistem penembak rudal (THAAD) di Korea Selatan membuat berang China karena diyakini mengganggu sistem pertahanan mereka.

Penentangan atas THAAD juga ditunjukkan oleh Rusia. Trump sendiri berpendapat bahwa China tidak berupaya keras untuk menekan rezim Korut dalam menghentikan proyek rudal dan nuklirnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya