Ini 4 Bukti Korut Sejatinya Bukan Ancaman bagi Amerika Serikat?

Dari berbagai alasan, berikut 4 bukti yang menunjukkan bahwa Korea Utara bukanlah ancaman bagi Amerika Serikat.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Jul 2017, 18:36 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2017, 18:36 WIB
Korut lakukan uji coba rudal balistik
Uji coba rudal balistik yang dilakukan Korea Utara (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Segala kabar heboh mengenai uji coba rudal nuklir Korea Utara yang mengisi berbagai situs berita, menjadi sebuah fenomena lumrah dalam beberapa waktu terakhir. Tak hanya itu, sikap "agresif" Amerika Serikat dalam merespons segala aktivitas "eksentrik" negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu juga kerap menambah keruh suasana.

Akibatnya, masyarakat global khawatir bahwa kedua negara akan terlibat dalam suatu konflik bersenjata. Terutama jika kedua negara mulai mengambil keputusan nekat, misalnya dengan menyerang satu sama lain dengan hulu ledak nuklir.

Sejumlah pakar juga menilai bahwa kedua negara akan memulai konflik bersenjata dalam waktu dekat. Namun tak jarang pula yang menduga bahwa masing-masing pihak tak akan menyulut perang.

Bagi pihak yang menyangsikan perang antara kedua negara, mereka menilai bahwa Korea Utara bukanlah ancaman bagi negara seperti AS, yang dianggap sebagai salah satu negara dengan kedigdayaan militer yang cukup mumpuni.

Dari berbagai alasan, berikut 4 bukti yang menunjukkan bahwa Korea Utara bukanlah ancaman bagi Amerika Serikat, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Toptenz.net, Sabtu (8/7/2017).

Saksikan juga video berikut ini:

1. Tak Ada Keuntungan Bagi Korut untuk Menyerang AS

Kapal induk USS Carl Vinson dikawal sejumlah kapal perang (AFP)

Meski sejumlah media asing nampak menggambarkan bahwa pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, sebagai diktator yang megalomaniak dengan kecenderungan untuk menyulut konflik dengan negara lain, namun beberapa pihak menilai bahwa sikap pria itu jauh dari penilaian tersebut. Mengapa?

Tengok misalnya sejumlah riwayat tentang diktator di masa lalu, seperti Adolf Hitler atau Saddam Hussein. Diktator seperti mereka tampak mengambil tindakan dengan penuh kehati-hatian serta mempertimbangkan segala untung-rugi yang dihasilkan.

Saat Nazi-Jerman menginvasi Uni Soviet pada Perang Dunia II, Hitler mengira --meski keliru-- bahwa Negeri Tirai Besi memiliki kapabilitas militer yang lemah. Begitu juga saat Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein memutuskan untuk menginvasi Kuwait pada Perang Teluk.

Di satu sisi, bagi Kim Jong-un, mengambil keputusan untuk menyerang Amerika Serikat bukanlah sebuah tindakan yang bijak, seperti Hitler menginvasi Uni Soviet atau Saddam menduduki Kuwait. Karena, adalah fakta bahwa saat ini, Negeri Paman Sam merupakan salah satu negara dengan kapabilitas militer yang mumpuni.

Selain itu, Korea Utara juga tidak memiliki sumber daya militer mumpuni yang dekat dengan Amerika Serikat, atau bahkan negara koalisi seperti Korea Selatan dan Jepang.

Di sisi lain, Amerika Serikat memiliki sejumlah fasilitas militer yang tersebar di Korea Selatan dan Jepang. Sekitar 30.000 pasukan AS ada di Negeri Ginseng, dan 35.000 sisanya berada di Nippon. Belum lagi, beberapa kapal perang yang dipersenjatai hulu ledak nuklir pun dikabarkan berposisi dekat dengan Korut.

Dari berbagai faktor tersebut, nampak tidak ada keuntungan strategis yang di dapat bagi Korut untuk menyerang AS. Benar atau tidaknya dugaan itu, setidaknya hingga kini, Pyongyang masih nampak ragu untuk mulai menyerang Amerika Serikat.

2. Negara Lain Tak Berminat Membantu Korut Serang AS

Presiden AS, Donald Trump menjabat tangan Presiden China, Xi Jinping saat jamuan makan malam di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Kedua pemimpin negara tersebut diagendakan akan menghabiskan waktu bersama secara privat. (AP Photo/Alex Brandon)

Setiap upaya militer yang akan dilakukan oleh Korea Utara demi menyerang Amerika Serikat, memerlukan dukungan dari sejumlah negara yang dekat dengan mereka, seperti China dan Rusia.

Namun, hingga kini, tak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Rusia dan China tertarik untuk membantu Korut guna menyerang Amerika Serikat.

Terlebih lagi, konflik bersenjata justru akan membuat upaya China dan Rusia, yang tengah berencana menjadi negara digdaya di kawasan, akan terganggu.

Terlebih lagi, sejumlah pernyataan dari pemimpin Negeri Tirai Bambu dan Negeri Beruang Merah beberapa waktu lalu, justru menekankan agar Korea Utara menghentikan program misil nuklirnya, serta meminta Kim Jong-un untuk mempertimbangkan upaya diplomasi, agar tensi tegang dengan AS dapat merenggang.

Di sisi lain, Amerika Serikat nampak sangat didukung oleh Korea Selatan dan Jepang, jika sewaktu-waktu konflik bersenjata pecah. Kedua negara yang 'gerah' dengan pembangkangan Kim Jong-un, kiranya sangat berkomitmen untuk membantu Negeri Paman Sam.

 

3. Sesungguhnya, Rudal Korut Tak Mampu Menjangkau AS

Pemimpin Korut, Kim Jong-un mengecek persiapan peluncuran rudal balistik antarbenua Hwasong-14, ICBM, di barat laut Korea Utara, 4 Juli 2017. Korea Utara mengklaim telah menguji rudal balistik antarbenua. (KRT via AP Video)

Berlawanan dari klaim Pyongyang yang menyebut bahwa rudal mereka mampu menjangkau AS, sejumlah pihak justru menyangsikan hal tersebut dan menilainya sebagai gertakan belaka.

Saat ini, setidaknya Korut memiliki beberapa rudal jarak menengah, di antaranya Musudan dan KN-08. Menurut kabar, Musudan memiliki jangkauan operasional sekitar 3.000 km dan KN-08 mampu menempuh jarak 6.000 km. Meski terkesan "wah", dua rudal andalan Kim Jong-un itu belum mampu menghantam wilayah kedaulatan AS yang signifikan.

Wilayah terdekat AS yang mampu dicapai rudal Korut adalah Alaska. Atau wilayah Jepang dan Korea Selatan yang merupakan koalisi Negeri Paman Sam.

Namun, apakah menyerang negara koalisi AS dan daratan tundra yang dingin nan beku itu signifikan bagi Pyongyang?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang pasti, hal tersebut hanya akan menyulut amarah Presiden Trump terhadap Kim Jong-un semakin menjadi-jadi.

4. Skenario MAD

Seorang pria melihat laporan berita tentang rudal Korea Utara, di sebuah stasiun kereta di Seoul, Korea Selatan. Pemimpin Korut, Kim Jong-Un memerintahkan pasukannya menyiagakan senjata nuklir untuk bisa digunakan kapan saja. (AFP PHOTO/Jung YEON-JE)

Mutual Assured Destruction (MAD) merupakan sebuah konsep skenario yang populer di masa Perang Dingin AS - Uni Soviet, ketika konflik persenjataan nuklir antara kedua negara nampak di ujung tanduk.

Konsep skenario MAD adalah doktrin strategi militer dan kebijakan keamanan nasional yang menyatakan bahwa penggunaan senjata penghancur massal berskala besar (seperti nuklir) oleh dua pihak yang bertentangan atau lebih, akan mengakibatkan kehancuran total bagi seluruh pihak yang terlibat.

Skenario tersebut didasari pada konsep 'an eye for an eye' teori deterensi (penggentarjeraan), yang menyatakan bahwa setiap negara pemilik hulu ledak nuklir tidak akan menyerang satu sama lain, karena masing-masing akan membalas menggunakan persenjataan serupa.

Andaikan Kim Jong-un benar-benar memiliki senjata nuklir dan memutuskan untuk mengebom AS, maka menurut skenario MAD, Negeri Paman Sam akan balas menyerang Korut dengan bom serupa.

Akibatnya, terjadilah sebuah skenario saling balas bom nuklir, yang justru akan memberikan kehancuran kedua belah pihak yang berkonflik. Justru tidak akan ada negara yang akan menjadi pemenang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya