Liputan6.com, Pyongyang - Industri penerbangan Korea Utara telah lama menjadi daya tarik bagi wisatawan dari seluruh dunia.Â
Air Koryo adalah maskapai pelat merah Republik Demokratik Korea Utara--yang menjadi penyedia tunggal penerbangan ke Pyongyang.Â
Maskapai tersebut hanya melayani dua rute penerbangan internasional, yaitu ke Rusia dan China.
Advertisement
Dikutip dari laman CNN, Kamis (13/7/2017), jadwal tiket penerbangan yang telah dikeluarkan oleh maskapai tersebut terjual dengan cepat.
Sebab, banyak orang ingin merasakan pengalaman terbang bersama pesawat era Soviet yang sangat langka--merasakan kembali nostalgia pada tahun 1960-an.
Di antara mereka yang tertarik untuk menaiki armada klasik dari perusahaan Antonov, Ilyushins, dan Tupolevs ini adalah fotografer Arthur Mebies.
Setelah merasakan perjalanan tur dengan Air Koryo, Arthur memutuskan untuk menyusun sebuah buku dengan judul "Dear Sky -- The Planes and People of North Korea's Airline."
Baca Juga
Tampilan foto pada buku itu diambil selama tiga kali kunjungannya ke Korea Utara. Arthur menjelaskan, ada beberapa hal yang menginspirasi dirinya untuk menyusun buku tersebut.
"Saya adalah seorang pencinta penerbangan dan fotografer profesional. Saya selalu mengerjakan sebuah proyek sebagai wujud dari rasa cinta saya akan pengalaman yang telah saya peroleh," ujar Arthur.
"Ketika mengetahui Korea Utara menciptakan pesawat komersial dengan armada jet Rusia klasik, saya langsung tertarik. Saya ambil kamera dan langsung terbang ke sana. Untuk menyelesaikan seri ini, butuh tiga kali perjalanan bolak-balik," tambahnya.
Karena adanya hukum internasional yang mengatur penerbangan, maskapai Air Koryo yang dapat dibilang pesawat tua ini jarang melakukan penerbangan ke luar negeri. Meski begitu, pihak maskapai dan awak kabin tetap siap untuk beroperasi.
Armada Air Koryo memiliki total 15 pesawat terbang. Empat di antaranya adalah pesawat 'baru' -- keluaran tahun 1990-an atau bahkan lebih muda. Selebihnya tipe pesawat Tupolev 204s dan dua pesawat tipe Antonov 148s (digunakan untuk penerbangan internasional reguler).
Ada beberapa hal yang melekat di ingatan Arthur selaku penumpang. Ia mengatakan, jenis pesawat yang ia tumpangi tak dapat dibandingkan dengan pesawat tipe Airbus dan Boeing kontemporer.
Meskipun waktu penerbangan hanya memakan waktu 90 menit, makanan yang disajikan sangat mumpuni. Minuman panas dan dingin seperti bir khas Korea Utara disajikan dengan baik oleh awak kabin.
Mengapa Air Koryo?
Korea Utara adalah negara yang tak biasa dan menarik perhatian banyak orang. Arthur menilai banyak orang yang ingin melihat seperti apa maskapai penerbangan yang kerap dibilang klasik.
Air Koryo juga dikenal sebagai "one star airline". Hal itu disebabkan tak memenuhi syarat dari berbagai kriteria utama, seperti program frequent flier yang belum terpenuhi sama sekali.
"Selama berada di Korut, saya adalah bagian dari sekelompok turis yang memiliki kepentingan bersama di pesawat terbang," ujar Arthur.
"Kami diizinkan untuk memotret pesawat. Saya ambil kesempatan ini dengan saksama. Tak hanya badan pesawat, saya juga mengabadikan momen pilot saat bekerja dan para pramugari yang melayani penumpang dengan sepenuh hati," tambahnya.
Hingga kini, belum ada reaksi yang disampaikan oleh pihak Korea Utara terkait buku tersebut.
"Buku ini tak bermaksud negatif. Ini cara pandang yang penuh estetika. Sehingga tak ada maksud buruk dalam karya ini," tegas Arthur.
Sang fotografer juga menjelaskan, banyak warga Korut yang menginginkan kehadiran masyarakat global ke negaranya. Menghabiskan waktu luang, menghabiskan banyak euro, dan meninggalkan kesan positif ketika para turis meninggalkan negaranya.
"Mereka sangat sensitif apabila banyak orang yang melihat sisi negatif dari negara mereka. Sebelum melakukan perjalanan, para pengunjung diberikan arahan untuk tak melakukan beberapa hal, seperti memotret penduduk setempat tanpa bertanya terlebih dahulu, tak boleh mengambil gambar tentara, dan tak boleh mengolok-olok pemimpin Korut," tegas Arthur.
Penampakan di Korut juga bersih dari iklan dan merek internasional. Bisa dikatakan, kota yang tak terlalu padat itu sama sekali terhindar dari arus globalisasi.
Bagi pengunjung, kurangnya sinyal internet dan telepon membuat mereka berada dalam ikatan yang membelenggu. Banyak aktivitas masyarakat yang berjalan begitu saja tanpa adanya gangguan dari media sosial dan ponsel pintar yang selalu berdering.Â
"Penduduk setempat yang saya temui sangat baik dan penuh dengan rasa penasaran yang terlihat di wajah mereka. Karena kurangnya sarana hiburan, mereka menghabiskan waktu dengan bermain musik dan bernyanyi. Ini adalah pengalaman yang unik. Saya berharap bisa kembali ke Korea Utara suatu hari nanti," kata Arthur.
Â
Saksikan juga video berikut ini: