Liputan6.com, Taipei - Taiwan dan China memiliki sejarah perselisihan panjang. Beijing hingga kini masih memandang Taiwan sebagai provinsi yang membangkang.
Tensi antara China dan Taiwan meninggi ketika Taipei memilih Tsai Ing-wen dari Democratic Progressive Party jadi presiden. Semenjak saat itu, Ing-wen banyak memutus tali komunikasi dengan Beijing.
Baca Juga
Meski demikian, ada kekhawatiran dari Taiwan terkait China.
Advertisement
Negara yang dianggap 'halaman belakang' Beijing itu kini semakin khawatir dengan banyaknya generasi muda mereka yang tak lagi memandang permusuhan kedua negara itu sebagai persoalan hakiki.
Para pemuda-pemudi Taipei mulai melirik China sebagai tempat mata pencaharian mereka. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir angkatan muda Taiwan adalah garda depan dalam sentimen anti-Beijing. Puncaknya, pada tahun 2014 yang dikenal dengan Sunflower Movement. Kala itu, para pemuda mengokupasi parlemen Taiwan karena membuat kesepakatan perjanjian dagang dengan China.
Melansir Straits Times pada Senin (21/8/2017), lulusan sarjana di Taiwan semenjak 1990-an hanya bergaji di bawah 30.000 dolar Taiwan atau sekitar Rp 13,2 juta. Angka itu tidak naik sedikitpun dari tahun ke tahun dan hal itu tak sebanding dengan harga rumah dan kebutuhan sehari-hari.
Dengan gaji yang sedemikian kecil itu, membuat para generasi muda Taiwan mulai melirik China mencari lapangan kerja atau membuka peluang usaha.
Melihat gejala itu, China juga tak segan-segan memberi kesempatan kepada generasi muda Taiwan yang berbakat. Beberapa analisis mengatakan, terbukanya lapangan kerja bagi pemuda-pemudi Taiwan dianggap 'soft power' untuk menghilangkan sentimen politik Beijing versus Taipei.
Kesempatan mencari hidup lebih baik di China dialami oleh Katherine Wang. Wanita 33 tahun itu memutuskan untuk berhenti jadi guru TK di Taipei dengan membuka bisnis kursus pendidikan untuk remaja putri China di Kota Xiamen. Wang mengatakan, 'ia sudah tak ada harapan dengan ekonomi Taiwan'.
"Aku justru melihat harapan yang luar biasa di Xiamen dan bekerja di sini membuatku bahagia. Aku ingin menggoreskan namaku di sini dan berharap bisnis kami berkembang di seluruh China," kata Wang.
Tak hanya untung karena membuka kursus bagi remaja putri, Wang juga mendapat insentif rumah gratis dan kantor dari pemerintah kota Xiamen. Selain itu, ia mendapat pinjaman modal yang cukup besar untuk mengembangkan bisnisnya.
Menurut Taiwan Affairs Office (TOA) di China, ada lebih dari 6.000 generasi muda Taiwan yang bekerja atau magang dilebih dari perusahaan start-up semenjak 2015.
Petinggi pemerintah dan pebisnis termasuk Premier Li Keqiang dan pendiri Alibaba, Jack Ma juga mendorong pemuda-pemudi Taiwan untuk mengejar karier di China.
Sementara Wang tak memiliki pandangan politik yang kuat, yang lainnya memilih menyinggirkan politik demi pekerjaan mereka.
Salah satunya adalah pemuda Taiwan berusia 21 tahun. Ia memilih kerja di China meskipun ia mendukung kemerdekaan Taiwan -- sebuah konsep yang selama ini ditentang oleh Beijing.
"Aku hanya ingin fokus kepada pekerjaan ini," katanya seraya berharap kerja di Beijing membuat batu loncatan ke pasar internasional lainnya.
"Teman kerja China saya kadang mengatakan 'Taiwan bagian dari China', itu terserah mereka," katanya.
Meski kedua negara dalam kondisi bersitengang, hubungan bisnis China-Taiwan sudah lama terjalin.
Produsen Taiwan berbondong-bondong ke daratan untuk memanfaatkan sumber daya dan tenaga kerja yang lebih murah setelah pembatasan dicabut pada akhir 1980-an.
China juga merupakan mitra dagang dan pasar dagang terbesar Taiwan, dengan ekspor mencapai US$ 112 miliar -- 40 persen dari jumlah tahun lalu.
Pendekatan Lembut China kepada Taiwan
Meski besarnya hubungan dagang China dan Taiwan, hubungan Beijing dengan generasi muda Taipei memiliki dimensi ekstra. Hal itu diungkapkan oleh Shih Cheng-feng, seorang analis politik di National Dong Hwa University.
"China menyadari bahwa perlu pendekatan yang lembut dan menggunakan 'wortel' untuk menarik (kaum muda) dengan harapan mereka akan memiliki dampak pada saat kritis, seperti pemilihan presiden," kata Shih kepada AFP.
"Kaum muda mungkin tidak secara aktif mendukung agenda Beijing, namun permusuhan mereka dapat dikurangi dan bagi Beijing itu adalah investasi yang berharga," jelasnya.
Sebuah survei yang dirilis oleh majalah Global Views yang berbasis di Taipei pada bulan Maret menunjukkan bahwa hampir 60 persen responden berusia 20-29 tahun bersedia bekerja di China.
Minat mereka tercermin dalam usaha perekrutan baru-baru ini oleh China Hainan Airlines, dengan lebih dari 1.500 pemohon Taiwan melamar 80 pekerjaan yang berbasis di Beijing. Demikian menurut media pemerintah China.
Ada yang mengatakan pertukaran lintas selat semacam itu adalah cara alternatif yang baik untuk mempromosikan stabilitas karena hubungan resmi memburuk, namun ada yang takut akan melukai daya saing Taiwan.
Sebuah komentar di Liberty Times Taiwan bulan ini menuduh China mencoba untuk memecah-belah pulau tersebut dan menarik kaum muda menjauh dari cita-cita politik mereka.
"Jika generasi muda tidak dapat melihat harapan di Taiwan dan merasa pesimistis dengan masa depan, dan jika kemiskinan menjadi kenyataan, bagaimana mereka bisa merasakan kewajiban untuk menuntut demokrasi dan mempertahankan cita-cita?" tulis komentar tersebut.
Advertisement