Peran Kecerdasan Buatan Melawan Berita Hoax dalam Politik

Kecerdasan buatan telah menjadi teknologi yang naik daun dalam berbagai bidang, mulai dari pengangkutan barang, hukum, hingga jurnalisme.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 03 Okt 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2017, 09:09 WIB
Cyber Army
(ilustrasi)

Liputan6.com, Washington DC - Dunia politik sering kali penuh kegaduhan. Apa yang diucapkan di permukaan tidak sejalan dengan apa yang dilakukan. Ada pula berita-berita palsu (hoax) yang disebarkan tanpa malu oleh para pasukan siber (cyber army).

Namun, melalui perulangan dan kebiasaan politikus, pengelabuan jenis itu sebenarnya memiliki pola tertentu. Sayangnya, manusia biasa tidak mahir melacak pelintiran tersebut.

Kini, telah hadir teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) yang mampu membaca dan melakukan prediksi pola gerakan menikung yang lazim dilakukan para politikus.

Dikutip dari Ozy, Selasa (3/10/2017), pada musim panas lalu, pihak Media Matters for America mencoba mengetahui seberapa sering Presiden Donald Trump mencuit ulang atau mengutip akun-akun palsu.

Untuk melakukan itu, mereka mengandalkan kecerdasan buatan. Para peneliti menciptakan program komputer untuk memindai ujaran Trump dan memberitahu ketika sang Presiden mencuit dari akun Twitter yang mencurigakan yang tak lebih dari sekadar bot.

Hal itu memang langkah kecil dalam penelaahan implikasi politis dari komputer yang bisa berpikir sendiri.

Angelo Carusone, Presiden Media Matters, mengatakan, "AI bukan hanya mampu melakukan itu di masa depan, tapi bisa kembali kepada kita dan berulang kali membeberkan kegiatan-kegiatan bersifat anomali lainnya (yang dilakukan Trump)."

AI telah menjadi teknologi yang naik daun dalam berbagai bidang, mulai dari pengangkutan barang, hukum, hingga jurnalisme. Jangan heran kalau AI juga merambah ke dunia politik. Potensi utamanya adalah dalam perbaikan dan perampingan kampanye, lobbying, dan perundangan (legislasi).

Banyak omongan tentang berita palsu yang disebarkan oleh bot Rusia, tapi kebanyakan ulah yang mengguncang Pemilu AS 2016 sepertinya merupakan ulah manusia.

Pada tahap awal ini, baru ada beberapa kasus AI yang benar-benar membuat kegaduhan politis. Chatbots, misalnya, lebih banyak membidik para penggemar Hillary Clinton dari kalangan muda, membantu dalam pendaftaran, dan menggiring para pemilih.

Pembelajaran oleh mesin (machine learning) telah membantu pelaksanaan kampanye melalui penelaahan data para pemilih. Menurut kelompok TargetSmart yang terafiliasi dengan Partai Demokrat, menjelang 2018, AI akan dipakai untuk memecahkan salah satu problem tersulit bagi para pengolah data politis.

Sekarang ini masih sangat sukar mengkaitkan perilaku daring para pemilih – yaitu kicauan publik, unggahan Reddit, foto Instagram, dan lainnya – dengan data pemilih di dunia nyata agar dapat dipakai untuk membidik pendekatan kampanye pintu-ke-pintu dan iklan televisi.

Sementara itu, Scott Tranter dari Optimus yang terafiliasi dengan Partai Republik membandingkan penggunaan AI untuk identifikasi, bujukan, dan kehadiran para pemilih itu seakan seperti membawa pesawat F-16 ke toko obat. Maksudnya, memang bisa cepat ke tempat tujuan, tapi repot dan mahal.

Walaupun begitu, ia memandang biaya penerapan perangkat demikian telah menurun secara dramatis karena keberadaan komputasi cloud yang ditawarkan oleh Microsoft dan perusahaan-perusahaan lainnya.

Artinya, jika ingin memanfaatkan AI, ia tidak perlu membeli komputer seharga US$ 200 ribu. Tranter mengatakan adanya bukti yang menunjukkan bahwa perbaikan dengan menggunakan AI hanya 2-3 persen. Namun, jika biayanya menurun, mungkin sistem AI pantas juga digadang-gadang.

Sebagian Sudah Dipakai Sekarang

Ternyata, selain pekerja seks komersial, robot dengan kecerdasan buatan juga mulai mengambil peran sebagai ahli hukum. (Sumber techinsider.io)

Di sisi politis, AI sebenarnya sudah dipakai dalam melakukan riset terhadap lawan dan pemantauan media.

Perusahaan baru Veritone menjual perangkat lunak kepada para pelaku kampanye dan kelompok terkait dalam spektrum politik yang luas guna memantau acara-acara televisi dan radio di seantero negeri. Di AS, jumlah acara-acara itu bisa mencapai 750 livestream setiap hari.

Para politikus bisa mencari nama mereka sendiri secara daring untuk mengetahui apa yang sedang dibahas tentang dirinya. Atau, kelompok-kelompok luar bisa melibatkan diri dalam topik-topik yang disasar.

Sudah lama televisi menjadi ladang bagi pihak-pihak pemantau media, tapi dunia radio yang lebih luas memang lebih sulit dilacak walaupun siaran obrolan radio sering kali kritis terhadap lingkup politik lokal.

Veritone bahkan memantau video YouTube dan podcast. Perangkat lunak transkripsinya memang belum sempurna, tapi sudah lebih cepat daripada pekerja kampanye yang secara manual memantau semua bahan media.

Transkripsi segera (instant) juga bisa diterapkan pada kampanye audio dan video oleh kelompok luar, misalnya untuk menunggu saatnya politikus lawan melakukan salah ucap atau khilaf.

Sistem AI terus menambah kecepatan dan ketepatannya melakukan tugas-tugas yang ada sekarang. Dengan demikian, pembuatan keputusan dalam kampanye pun mengalami pergeseran.

Whitaker dari TargetSmart yang disebut sebelum ini mengatakan, "Misalnya kita jejalkan semua (presentasi) PowerPoint dan semua spreadsheet Excel berisi anggaran kampanye dan riwayat pembelian iklan kepada Watson.”

(Watson adalah nama sistem kecerdasan buatan besutan perusahaan raksasa IBM).

"Lalu kita tanya Watson, 'Ke mana saya harus mengirim para sukarelawan besok?' Setidaknya Watson akan menyediakan pilihan-pilihan sedemikian rupa sehingga kita tidak lagi memerlukan direktur data, direktur digital, dan direktur lapangan sekaligus."

Ya, bahkan mesin pun mengambil alih pekerja operasi yang bersifat politis.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya