Liputan6.com, Dhaka - Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati kerangka waktu untuk mengembalikan ratusan ribu pengungsi Rohingya.
Dalam sebuah kesepakatan pada Selasa, 16 Januari 2018, kedua negara menawarkan rincian untuk menjalankan kesepakatan repatriasi pada November 2017.
Dikutip dari NPR, Rabu (17/1/2018), berdasarkan kesepakatan tersebut, mereka mengumumkan bahwa repatriasi atau pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar akan dilakukan selama dua tahun.
Advertisement
"Kami usulkan untuk memulangkan 15.000 warga Rohingya setiap minggunya, namun mereka (Myanmar) tidak menyetujuinya," ujar Duta Besar Bangladesh untuk Myanmar, Sufiur Rahman, menurut laporan Dhaka Tribune.
Baca Juga
"Mereka (Myanmar) telah melakukan sejumlah persiapan bagi orang-orang Rohingya. Mereka setuju untuk menerima 300 warga Rohingya per hari. Sebanyak 1.500 warga Rohingya akan dipulangkan setiap minggunya," imbuh Rahman.
Sementera itu Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Pemukimanan Kembali Myanmar, Win Myat Aye, mengatakan bahwa pemulangan kembali pengungsi Rohingya akan dilakukan pekan depan.
"Kami berencana untuk dapat menerima mereka sejak pekan depan dan kami yakin ini akan selesai tepat waktu," ujar Win Myat Aye.
Pesan dari UNHCR
Komisioner Tinggi untuk Pengungsi PBB (UNHCR) memperingatkan bahwa "tantangan utama" harus diatasi.
"Ini termasuk memastikan bahwa para pengungsi diberi tahu tentang situasi di daerah asal dan berkonsultasi mengenai keinginan mereka, bahwa keamanan mereka dipastikan secara keseluruhan -- pada saat keberangkatan, perjalanan, dan tiba di daerah asal; dan lingkungan di area pemulangan kondusif, aman, dan berkelanjutan," ujar juru bicara UNHCR, Andrej Mahecic, dalam sebuah pernyataan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh jurnalis NPR, Michael Sullivan, saat kesepakatan pemulangan ditandatangani pada November 2017, banyak warga Rohingya yang ingin kembali.
Namun, mereka juga menginginkan jaminan keselamatan dan dalam banyak kasus, ingin membangun kembali rumah mereka.
"Sembilan dari 10 warga Rohingya yang saya tahu di kamp-kamp ini (di Bangladesh) akan mengatakan bahwa mereka lebih suka tinggal di Bangladesh karena satu alasan sederhana -- dan alasan itu adalah keamanan," jelas Michael Sullivan.
"Mereka tahu mereka tak akan dibunuh di sana," imbuh dia.
Advertisement
Pecahnya Gelombang Kekerasan di Myanmar
Kampanye militer di Rakhine bermula pada 25 Agustus 2017 setelah gerilyawan Rohingya menyerang lebih dari 30 pos polisi.
Setelah melakukan penyelidikan internal, tentara Myanmar pada November lalu mengklaim pihaknya tak terkait atas kesalahan apa pun mengenai krisis tersebut. Mereka membantah telah membunuh warga sipil, membakar desa, memerkosa perempuan dan anak-anak, serta mencuri harta benda.
Namun pada pekan lalu, untuk pertama kalinya Militer Myanmar mengakui bahwa pasukannya terlibat dalam tewasnya warga Rohingya dalam kekerasan yang pecah di Rakhine sejak Agustus 2017.
Dikatakan dalam sebuah penyelidikan bahwa empat pasukan keamanan terlibat dalam pembunuhan 10 warga Rohingya di desa Din Din dekat Maungdaw.
Sebagian besar warga Rohingya ditolak kewarganegaraannya oleh Myanmar, karena mereka melihat mereka sebagai imigran dari Bangladesh. Pemerintah pun tak menyebut mereka Rohingya, tapi menyebutnya sebagai muslim Bengali.