Liputan6.com, Cox's Bazar - Badan kemanusiaan Save the Children, memperkirakan bahwa sekitar 48.000 bayi akan lahir di kamp pengungsian Rohingya pada tahun ini.
Mereka memperingatkan bahwa bayi-bayi tersebut kemungkinan akan lahir di kamp-kamp Rohingya yang memiliki kondisi sanitasi buruk dan akan berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi. Dalam laporannya, Save the Children juga memperingatkan bahwa bayi-bayi tersebut rentan mengalami kematian sebelum usia 5 tahun.
Advertisement
Baca Juga
"Kamp-kamp tersebut memiliki sanitasi yang buruk dan merupakan tempat berkembang biak bagi penyakit seperti difteri, campak, dan kolera, di mana bayi baru lahir rentan terhadap penyakit itu," ujar penasihat kesehatan Save the Children di Cox's Bazaar, Rachael Cummings, seperti dikutip dari The Washington Post, Jumat (5/1/2018).
"Ini bukan tempat bagi seorang anak untuk dilahirkan," imbuh dia.
Lebih dari 650.000 warga Rohingya melarikan diri dari gelombang kekerasan yang terjadi di Myanmar sejak Agustus 2017. UNICEF mengatakan bahwa 60 persen pengungsi merupakan anak-anak.
Bangladesh: Kami Tak Tahu Bagaimana Mengahadapi Ini
Seorang pejabat Bangladesh menyebut, jumlah 48.000 bayi itu merupakan hal yang sangat membingungkan.
"Ini akan menjadi bencana dan mengerikan bagi kita," ujar Wakil Direktur Departemen Pelayanan Sosial di Cox's Bazaar, Priton Kumar Chowdhury.
"Saya tak bisa membayangkannya, dan otak saya sebenarnya tidak tahu bagaimana menghadapi ini," imbuh dia.
Ia menambahkan bahwa departemennya telah mengidentifikasi lebih dari 36.000 yatim piatu di kamp pengungsian itu.
Proyeksi angka kelahiran yang dibuat oleh Save the Children itu didasarkan dari berapa banyak pengungsi yang sedang hamil.
Saat ini Bangladesh sedang bernegosiasi dengan Myanmar untuk membuat sebuah protokol untuk mengembalikan warga Rohingya secara sukarela. Namun, belum jelas apakah mereka akan kembali, mengingat adanya kekhawatiran akan keselamatan mereka.
Advertisement
Pecahnya Gelombang Kekerasan di Myanmar
Setelah melakukan penyelidikan internal, tentara Myanmar pada November lalu mengklaim pihaknya tak terkait atas kesalahan apa pun mengenai krisis tersebut.
Mereka membantah telah membunuh warga sipil, membakar desa, memerkosa perempuan dan anak-anak, serta mencuri harta benda.
Sebagian besar warga Rohingya ditolak kewarganegaraannya oleh Myanmar, karena mereka melihat mereka sebagai imigran dari Bangladesh. Pemerintah pun tak menyebut mereka Rohingya, tapi menyebutnya sebagai muslim Bengali.
Namun, pernyataan pihak pemerintah bertentangan dengan apa yang dilihat oleh sejumlah koresponden media. PBB pun menyebutnya sebagai contoh buku teks tentang pembersihan etnis.
Pada November 2017, Bangladesh menandatangani persetujuan dengan Myanmar untuk mengembalikan ratusan ribu pengungsi Rohingya.
MSF menyebut persetujuan itu prematur, dengan mengatakan bahwa masih banyak orang yang melarikan diri dari Myanmar dan sejumlah laporan kekerasan masih diterima dalam beberapa minggu terakhir.