Liputan6.com, Jakarta - Pada 31 Januari 2018 malam, sebagian besar penduduk Bumi menjadi saksi fenomena supermoon langka yang terakhir kali terjadi pada 152 tahun lalu, yakni Super Blue Blood Moon.
Malam itu bulan berada dalam jarak yang dekat dengan Bumi, yakni 26.500 kilometer lebih dekat dari biasanya -- fenomena yang biasa disebut dengan supermoon.
Selain itu, purnama yang terjadi pada malam tersebut merupakan purnama kedua yang terjadi pada Januari 2018, atau biasa disebut dengan Blue Moon.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, Blood Moon atau Bulan berdarah, terjadi pada saat gerhana total Bulan. Pada saat itu, Bumi melintas di antara Matahari dan Bulan sehingga menghalangi sinar Matahari yang menuju Bulan.
Bulan menerima sedikit cahaya dari pinggiran atmosfer Bumi sehingga langit dan permukaan Bulan menjadi berwarna merah.
Konvergensi ketiga fenomena, yakni Supermoon, Blue Moon, dan Blood Moon pun disebut sebagai Super Blue Blood Moon.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Melihat Supermoon Berselimut Abu Vulkanik
Australia, Hawaii, dan Alaska menjadi tempat terbaik untuk menyaksikan fenomena langka tersebut. Selain itu, Yukon di Kanada, Asia, Pantai Barat Amerika Serikat, dan Rusia juga menjadi tempat terbaik.
Super Blue Blood Moon juga membawa kegembiraan di Guinobatan, sebuah kota di Filipina yang menjadi tempat mengungsi penduduk yang melarikan diri dari erupsi Gunung Mayon.
Di sana, mereka melihat Super Blue Blood Moon bertengger di atas muntahan abu vulkanik dan lahar di Puncak Gunung Mayon.
"Bulan sangat besar dan terang. Menarik untuk dilihat. Tuhan menciptakan Bulan yang indah dan gunung berapi ini," ujar seorang petani berusia 75 tahun, Jose Almesolano, seperti dikutip dari News.com.au, Kamis (1/2/2018).
Di Jakarta, ribuan orang diperkirakan memadati planetarium untuk mengantre menyaksikan fenomena tersebut dengan menggunakan teleskop yang telah disediakan di sana.
"Saya melihat berita di TV dan saya langsung datang ke sini dengan segera," ujar Yami.
Advertisement
Tak Dapat Disaksikan di Eropa
Pengelola Los Angeles Griffith Observatory bersiap untuk menyambut 2.000 orang yang ingin menyaksikan Super Blue Blood Moon dengan lebih jelas.
Sementara itu, di Kathmandu, Nepal, di mana Super Blue Blood Moon tak terlihat jelas karena kabut polusi, warga diharap tak melakukan sejumlah kegiatan.
Sejumlah surat kabar lokal mengeluarkan peringatan yang mengimbau warga untuk tidak makan, minum, tidur, atau bahkan tak pergi ke toilet selama fenomena itu berlangsung, mengutip peraturan Hindu.
Akan tetapi, fenomena langka itu tak dapat disaksikan oleh mereka yang berada di Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, karena saat fenomena itu terjadi wilayah tersebut belum masuk waktu malam.