Supermoon Diramalkan Picu Gempa Besar 30 Januari 2018, Faktanya?

Seorang peramal mengklaim bahwa fenomena Supermoon dapat memicu terjadinya gempa besar pada 30 Januari 2018.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 29 Jan 2018, 11:30 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2018, 11:30 WIB
[Bintang] Supermoon
Supermoon di Asuncion, Paraguay, Januari 2018. (NORBERTO DUARTE / AFP)

Liputan6.com, Amsterdam - Gempa tak bisa diprediksi kapan terjadi dan berapa kekuatannya, namun seorang peneliti asal Belanda bernama Frank Hoogerbeets mengklaim bahwa fenomena Blue Blood Supermoon, yang akan berlangsung pada Rabu, 31 Januari 2018, akan memicu lindu besar sehari sebelumnya, yakni Selasa, 30 Januari 2018.

Gerhana Bulan total 31 Januari 2018 mendatang akan bertepatan dengan peristiwa supermoon, di mana rembulan akan berada titik perigee, atau jarak terdekat dengan Bumi.

Fenomena astronomi tersbeut juga dijuluki "Blue Moon". Jangan salah sangka, Bulan tak akan berubah warna jadi biru. Istilah itu merujuk pada terjadinya bulan purnama kedua dalam satu bulan. Purnama pertama telah terjadi pada 2 Januari 2018.

Dilansir dari laman Express.co.uk pada Senin (29/1/2018), Hoogerbeets, menyampaikan peringatan terkait gempa dan supermoon dalam sebuah rekaman yang diunggah ke kanal  miliknya di situs berbagi video. Ramalan tersebut juga terpampang dalam situs Ditrianum.

 

Ia memperingatkan bahwa antara tanggal 30 Januari hingga 2 Februari 2018, fenomena supermoon, akan diikuti oleh fenomena alam yang disebutnya sebagai 'ampilifikasi' berupa gerak seismik.

"Fenomena bulan bulat sempurna tidak hanya memicu peningkatan aktivitas seismik, namun juga memicu 'amplifikasi' yang berisiko terhadap peningkatan gerak seismik berkali-kali lipat dari biasanya. Hitung-hitungan saya memperkirakan, akan terjadi gempa berkekuatan antara 6 hingga 7 skala Richter, antara tanggal 30 Januari hingga 2 Februari," ujar Hoogerbeets.

Hoogerbeets menggunakan cara yang tidak dikenal -- juga tak diakui -- secara ilmiah untuk memprediksi gempa bumi, yakni berdasarkan keselarasan posisi antar planet-planet dan Bumi. Ia mengklaim bahwa peningkatan gaya elektromagnetik pada fenomena Supermoon mendorong terjadinya tekanan di garis-garis patahan di Bumi.

Berkebalikan dengan asumsi banyak orang, Hoogerbeets dan timnya tidak percaya bahwa gravitasi bertanggung jawab terhadap gempa yang lebih besar saat posisi Bumi dan planet-planet lain sejajar di sistem tata surya.

"Tidak setiap posisi sejajar memicu peningkatan gerak seismik, namun hampir setiap peningkatan gerak seismik (di atas 6 SR) disebabkan oleh satu atau lebih planet yang berada sejajar dalam satu waktu," jelas Hoogerbeets.

Klaim Tak Didukung Ilmuwan

20151111-Ilustrasi Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Fenomena supermoon membuat Bulan terlihat 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang daripada biasanya.

Pendapat Hoogerbeets yang menyebut fenomena supermoon berkaitan dengan gempa berskala besar dianggap lelucon oleh banyak ilmuwan. Meskipun begitu, pendapat Hoogerbeets berhasil menarik minat banyak orang. Hal itu terbukti dari semakin bertambahnya jumlah pengikut di kanal dan situs pribadi miliknya.

"Faktanya, sejarah mencatat beberapa gempa besar terjadi ketika bulan penuh, seperti gempa 9,3 skala richter di Aceh pada 26 Desember 2004, dan gempat 9,2 skala richter di Alaska pada 28 Maret 1964," ujar Hoogerbeets.

Pada Desember 2015, Hoogerbeets diejek oleh banyak ilmuwan karena tidak berhasil membuktikan prediksinya mengenai gempa besar yang disebut 'mampu mengubah dunia selamanya.' Ia bahkan dituding hanya memanfaatkan prediksi bombastisnya untuk mengeruk keuntungan.

Astronom Phil Plait, yang beberapa kali menulis untuk jurnal New Scientist, menanggapi prediksi Hoogerbeets sebagai sesuatu yang tidak perlu dianggap serius.

"Sama sekali tidak ada kesejajaran posisi planet yang memicu gempa besar di Bumi. Itu benar-benar tidak mungkin secara ilmu pengetahuan," jelas Plait.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya