Pesawat yang Sedang Mengudara Aman dari Risiko Gempa Bumi? Ini Jawabannya

Gempa bisa mengguncang daratan dan memicu tsunami. Apakah pesawat yang mengudara di atmosfer dapat turut terdampak?

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 02 Mei 2018, 20:20 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2018, 20:20 WIB
Ilustrasi pesawat (iStock)
Ilustrasi pesawat (iStock)

Liputan6.com, Washington, DC - Ketika gempa terjadi, gelombang seismik bergerak menembus kerak Bumi. Bangunan berguncang, pohon-pohon pun bergoyang bahkan tumbang. Banyak yang mengira, tempat paling aman untuk menghindari dampak lindu adalah dengan berada sejauh mungkin dari permukaan tanah. Misalnya, terbang dengan pesawat.

Benarkah demikian?

Seperti dikutip dari laman HowStuffWorks, Rabu (2/5/2018), bagian-bagian Bumi yang saling berinteraksi tak hanya berupa batuan di daratan, tetapi juga lautan luas, dan lapisan gas setinggi 1.000 kilometer.

Ketika gempa terjadi di dasar laut, kekuatannya bisa mengacaukan badan air di atasnya, hingga membentuk gelombang raksasa tsunami. Apakah hal serupa terjadi pada atmosfer dan pesawat yang tengah mengudara?

Para ilmuwan menjelaskan, gempa bumi melepaskan gelombang seismik dalam bentuk tekanan dan gelombang geser -- atau gelombang P (primer) dan S (sekunder).

Ketika gelombang P meninggalkan objek padat, seperti kerak bumi, dan memasuki atmosfer, ia berubah bentuk menjadi gelombang suara. Di sisi lain, gelombang S tak bisa bergerak melalui cairan atau gas.

Gelombang P biasanya memiliki frekuensi bunyi di bawah ambang batas yang dapat didengar oleh telinga manusia atau kurang dari 20-hertz (infrasonik).

Sesuai prinsip atenuasi (penurunan tingkat suatu besaran dalam ilmu fisika), intensitas gelombang secara bertahap akan berkurang saat bergerak melalui medium udara.

Bahkan jika gelombang seismik tersebut mencapai ketinggian jelajah pesawat, 30 ribu kaki atau 9.144 meter, kebisingan dan gerak kapal terbang akan mengalahkan bunyinya.

Para penumpang dan awak tak akan mendengar gempa bumi dari pesawat terbang. Selain itu, tak akan merasakan guncangannya.

Namun, apakah orang yang berada di pesawat sepenuhnya bebas dari dampak gempa?

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

 

Pengakuan Pilot

Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Seorang pilot mengungkapkan, meski tak merasakan dampak langsungnya, gempa bumi bisa membawa akibat tak menguntungkan bagi penerbangan.

"Saya pernah mengalaminya sekali. Sangat menakutkan," kata eks penerbang Angkatan Udara AS yang banting setir jadi pilot maskapai penerbangan, Ron Wagner, pada Quora, seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au.

Belum lekang dari ingatannya, pada suatu malam, ia menerbangkan jet tempur dari pangkalan di Washington ke Arkansas, untuk menjemput orang penting atau VIP yang diduga adalah anggota Kongres.

"Hari telah gelap, ada awan tebal di ketinggian sekitar 3.000 kaki (0,9 km)," kata Wagner.

"Kami tak melihat apa pun kecuali gelap saat masuk ke dalamnya. Dalam kondisi tersebut jendela kokpit seakan dicat hitam."

Kemudian, Wagner menambahkan, pesawat berhasil lolos dari kepungan awan. "Di bawah awan, suasana terlihat cerah, bening seperti kristal. Kami bahkan bisa melihat lampu-lampu dari kejauhan, termasuk lampu landasan," kata dia.

Kemudian, Wagner dan rekannya melapor ke petugas di darat bahwa mereka bisa melihat landasan dan bersiap mendarat.

Tiba-tiba, suasana di sekitar kembali gelap. "Kami menduga telah terbang kembali masuk awan, jadi kami menghubungi menara kontrol untuk melapor telah kehilangan jarak pandang dan terus terbang," kata dia.

Namun, tak ada jawaban. Saat mengecek posisi pesawat pada instrumen navigasi, terlihat tanda bendera merah, yang berarti sinyal di darat telah hilang.

"Kami kembali menghubungi mereka. Tak ada jawaban," kata dia. "Kami kemudian menyadari transponder tidak berkedip lagi, yang artinya kami tak terdeteksi radar."

Wagner pun kembali menghubungi petugas di darat. Lagi-lagi tak ada jawaban.

Saat berniat mengubah frekuensi, petugas darat dengan semangat memanggil pesawat lewat radio. "Ternyata, mereka baru saja mengalami gempa bumi besar, yang merontokkan semua daya," kata Wagner.

Butuh waktu beberapa menit untuk menjalankan pembangkit listrik darurat dan mengoperasikan kembali radio.

"Petugas di darat meminta kami untuk terbang dengan mengandalkan visual, sementara mereka memastikan semua berjalan semestinya," kata Wagner. "Itu bagian yang menakutkan karena kami tidak melihat apa pun kecuali gelap."

Kala itu ada risiko menabrak antena tinggi di jalur pesawat. Sebab, semua lampu di wilayah itu padam akibat gempa. Sementara, radar belum berfungsi kembali.

"Kami terus terbang berputar, tak ada apa pun yang terlihat, hanya cahaya merah dari instrumen pesawat kami," lanjut Wagner.

Untungnya, lampu landasan kembali menyala. Namun, pendaratan belum bisa dilakukan. Petugas pengendali lalu lintas udara di darat mengaku masih harus mengirimkan personel ke landasan untuk memeriksa potensi retakan.

"Beberapa menit kemudian kami diberi tahu bahwa landasan pacu baik-baik saja dan bisa mendaratkan pesawat."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya