Pemilu Meksiko 2018, Calon Presiden Berhaluan Populis Diprediksi Menang

Pemilu Meksiko 2018 menjadi kontes persaingan empat calon presiden dan perebutan 3.400 kursi legislatif.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Jul 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2018, 12:00 WIB
Warga Meksiko dalam kampanye pemilu 2018 (Ulises Ruiz/ AFP PHOTO)
Warga Meksiko dalam kampanye pemilu 2018 (Ulises Ruiz/ AFP PHOTO)

Liputan6.com, Mexico City - Hari ini, Minggu 1 Juli 2018 waktu setempat, Pemilu Meksiko digelar. Warga akan berbondong-bondong datang ke bilik suara untuk melaksanakan pemilihan umum.

Suara mereka akan menjadi penentu empat calon presiden yang bersaing dan ribuan calon legislatif yang memperebutkan 3.400 kursi di tingkat lokal, negara bagian, dan federal --menjadikan pemilu tahun ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah modern Negeri Aztec.

Empat calon presiden yang akan bersaing meliputi: Andres Manuel Lopez Obrador dari partai National Regeneration Movement (Morena), Ricardo Anaya dari National Action Party (PAN), Jose Antonio Meade dari Institutional Revolutionary Party (PRI), dan Jaime Rodriguez Calderon yang maju secara independen.

Seperti dikutip dari Vox (1/7/2018), jajak pendapat telah memproyeksikan bahwa Lopez Obrador kemungkinan akan memenangkan pemilihan presiden. Saat ini, menurut survei prediksi, ia unggul dengan rata-rata 20 persen suara dari tiga pesaingnya dan selalu mempertahankan keunggulan tersebut sejak tiga bulan terakhir jelang pemilu.

Capres Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador (Alfredo Estrella / AFP Photo)

Lopez Obrador maju dari partai baru yang ia bentuk, Morena --berhaluan kiri, populis, dan nasionalis. Selama kampanye, ia berjanji akan melaksanakan reformasi pemerintahan, menindak tegas korupsi di internal birokrasi, serta menekan angka kejahatan yang marak di Meksiko selama masa kepemimpinan presiden saat ini, Enrique Pena Nieto.

Pakar pun menilai bahwa Lopez Obrador di atas angin, karena, banyak calon pemilih menginginkan agar sang capres memenuhi janji perubahan yang diutarakannya selama kampanye, terutama terkait isu pemberantasan korupsi yang selama ini luput dari perhatian Presiden Nieto.

Sementara itu, dari tiga kandidat yang ketat menyaingi Lopez Obrador, capres Ricardo Anaya dari partai PAN adalah pesaing utama.

Seorang politisi muda kawakan, Anaya naik ke kasta teratas dunia politik Meksiko dan partai PAN atas reputasinya sebagai perencana kebijakan yang teliti serta karakternya yang blak-blakan.

Selama kampanye, Anaya berjanji akan memerangi kemiskinan dengan memberikan insentif bulanan kepada semua orang Meksiko. Ia juga akan menindak tegas korupsi. Kendati demikian, janjinya untuk memberantas rasuah dicoreng oleh tuduhan keterlibatannya dalam kasus pencucian uang.

Anaya membantah tuduhan itu, menyebutnya sebagai pencemaran dan aksi kampanye kotor dari partai pesaing, Institutional Revolutionary Party (PRI) yang mengusung capres Jose Antonio Meade.

(Kanan) Capres Meksiko Jose Antonio Meade (Xinhua News Agency Photo)

Institutional Revolutionary Party saat ini merupakan partai pemerintah, pengusung Presiden Nieto, serta telah menjadi mesin politik dominan di Meksiko selama hampir 80 tahun sejak negara itu merdeka.

Namun dalam prosesnya, warga Meksiko kian memandang partai itu sebagai organisasi yang memberikan struktur kemapanan bagi aktivitas korupsi dan kolusi para anggotanya di tubuh pemerintahan. Oleh karenanya, banyak orang Meksiko mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan PRI kembali berkuasa selama enam ke depan. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera.

Di posisi terakhir dalam jajak pendapat adalah Jaime Rodriguez Calderon, seorang kandidat independen.

Calderon ingin dilihat sebagai politisi ulung, tetapi selama kampanye, dirinya malah telah banyak ditertawakan karena mengusulkan janji politik di luar nalar dalam debat presiden pertama --yang mengatakan bahwa jawaban atas permasalahan korupsi di Meksiko adalah dengan memotong tangan para pegawai negeri yang mencuri uang rakyat.

Semua janji kampanye para kandidat, menurut pakar, menunjukkan bahwa pemilih Meksiko menginginkan presiden yang kuat untuk memperbaiki masalah dalam negeri. Di sisi lain, para pemilih juga menginginkan presiden yang tangguh berdiplomasi dengan pemimpin dunia, terutama dengan tetangga, di tengah alotnya negosiasi antara Meksiko-AS-Kanada dalam Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara atau NAFTA.

 

Simak juga video pilihan berikut:

Reformasi dan Pemberantasan Korupsi Dianggap Sulit

Warga Meksiko dalam kampanye pemilu 2018 (Ramon Espinosa / AP PHOTO)
Warga Meksiko dalam kampanye pemilu 2018 (Ramon Espinosa / AP PHOTO)

Jika López Obrador memenangkan pemilihan, itu bisa berarti bahwa reformasi besar dan pemberantasan korupsi akan terlaksana di Meksiko seperti yang ia janjikan selama kampanye.

Hal itu juga akan membawa perubahan bagi pemerintahan saat ini, yang merupakan warisan dari partai pemerintah PRI dan Presiden Nieto, yang gagal memperbaiki masalah korupsi besar di Meksiko.

Meski pernah berjanji untuk memberantas korupsi pada kampanye pilpres 2012, Presiden Peña Nieto justru terperosok ke dalam gejolak politik internal di partai PRI. Dan hal itu berdampak pada pemerintahannya.

Ketika Nieto terpilih pada tahun 2012, ia mendapat nilai persetujuan publik (public approval rating) sebesar 54 persen. Presentase itu kemudian anjlok menjadi 17 persen pada Januari 2018.

Itu menunjukkan bahwa sekarang, orang-orang Meksiko telah lelah dengan kesalahan pemerintah saat ini. Dan, jika López Obrador mengamankan kemenangan pada pemilu tahun ini, para pemilih akan menaruh harapan besar darinya.

Tetapi, pakar menilai bahwa pemenuhan janji untuk melakukan pemberantasan korupsi dan memperbaiki sistem pemerintahan Meksiko yang sarat rasuah akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan itu akan menjadi tantangan besar bagi López Obrador jika dia menang.

Pekerja memberikan sentuhan akhir pada topeng lateks dari calon presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador, dari partai MORENA, di Rev, sebuah pabrik di Cuernavaca, Morelos State, Meksiko, (28/3). (AFP Photo/Alfredo Estrella)

"Apalagi, ia belum memiliki rencana yang matang guna memenuhi janji kampanyenya untuk memberantas korupsi," kata Pablo Piccato, profesor pakar Meksiko di Columbia University, seperti dikutip dari Vox.

"Ia mungkin orang yang jujur dan tegas. Tapi, pemerintahan di bawahnya, pada tingkat birokrasi lokal, kota, dan negara bagian, itu yang akan sulit dikendalikan jika ia ingin menindak korupsi," jelasnya.

Namun tampaknya para pemilih di Meksiko percaya bahwa jika ada yang bisa mewujudkan perubahan itu, López Obrador adalah taruhan terbaik.

Hasil pemilihan presiden juga bisa mempengaruhi hubungan antara AS dan Meksiko, kata Jason Marczak, direktur Atlantic Council’s Adrienne Arsht Latin America Center kepada Vox.

"López Obrador adalah seorang "nasionalis yang kuat," tetapi dia mungkin masih akan mencoba bekerja erat dengan AS mengenai isu-isu tertentu," kata Marczak.

"Terutama di sekitar pengenaan tarif baja dan aluminium baru-baru ini di Meksiko, tanggapannya adalah bahwa presiden Meksiko seharusnya menemukan lebih banyak kesempatan untuk duduk dan berbicara dengan Presiden Trump," kata Marczak.

Dengan kata lain, hasil pemilu Meksiko pada hari Minggu dapat berarti perubahan besar bagi negara. Dan calon presiden kemungkinan akan mendapat tekanan besar untuk memperbaiki sistem korup Meksiko dan kekerasan yang meluas.

Kekerasan yang Meluas Jelang Pemilu

Topeng Wajah Calon Presiden Meksiko
Topeng lateks dari kandidat presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador (kanan), dari partai MORENA, dan para kandidat dan tokoh politik lainnya ditampilkan di pabrik Rev di Jiutepec, Morelos State, Meksiko, (28/3). (AFP Photo/Alfredo Estrella)

Para kandidat presiden yang bersaing dalam pemilu tahun ini berbicara banyak tentang upaya mereka pengentasan kejahatan kekerasan di Meksiko, namun, jelang pemilu, setidaknya 130 politisi, termasuk 48 kandidat legislatif telah dibunuh secara brutal sejak awal musim pemilihan yang dimulai pada September 2017 --menurut laporan Etellekt, lembaga konsultasi politik Meksiko.

Awal bulan ini, tiga kandidat politik perempuan ditembak mati hanya dalam rentang waktu 24 jam.

Para ahli mengatakan gelombang kekerasan kemungkinan adalah hasil dari kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi yang mencoba untuk mendapatkan kendali dan memanipulasi pejabat pemerintah lokal.

Ruben Salazar, direktur Etellekt, mengatakan kepada AFP bahwa penindakan terhadap kartel narkoba telah mendorong kekerasan politik. "Sel-sel baru yang muncul ... berusaha menyingkirkan para politisi jika mereka tidak berhasil mencapai persekongkolan tertentu," Salazar menambahkan.

Para pelaku adalah penyerang tak dikenal yang sebagian besar telah lolos dari jerat hukum. Jumlah pembunuhan jelang pemungutan suara pada Minggu 1 Juli mengejutkan, tetapi kurang mengejutkan mengingat sejarah kekerasan di Meksiko.

Tahun lalu, tingkat pembunuhan di negara itu mencapai tingkat tertinggi yang pernah tercatat: 29.168 kasus pembunuhan, menurut data kuartal pertama pemerintah tahun 2018.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya