Liputan6.com, Washington DC - Versi terakhir dari Rancangan Undang-Undang (RUU) pertahanan 2019 yang diajukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), disebut memuat beberapa kalimat "bernada kasar" kepada Rusia, dan beberapa negara pesaing lainnya, seperti China dan Korea Utara.
Pemuatan hal tersebut pada RUU Pertahanan, menurut beberapa pengamat, bertujuan mencegah militer AS bekerja sama dengan "kompetitor besar" yang terus mengintai kelemahan Negeri Paman Sam.
Menurut Mac Thornberry, ketua Komite Angkatan Bersenjata di DPR Amerika Serikat, RUU senilai US$ 717 miliar (setara Rp 10.423 triliun) itu "melarang keras kerjasama militer, dalam bentuk apapun, dengan Rusia".
Advertisement
Dikutip dari CNN pada Selasa (24/7/2018), larangan itu sebenarnya telah tercantum dalam RUU versi tahun-tahun sebelumnya. Namun, baru terkuak pasca-pertemuan bilateral pertama antara Donald Trump dan Vladimir Putin yang digelar di Helsinki, Finlandia, pekan lalu.
Baca Juga
Adapun jumlah anggaran di atas, yang mewakili kompromi antara versi DPR dan Senat, juga disebut mendanai rencana pemerintahan Trump untuk mengembangkan rudal balistik, dalam upaya memnghadang ancaman Rusia.
Rencana pertahanan tersebut juga memasukkan skema pembiayaan militer Ukraina senilai US$ 250 juta (setara Rp 3,6 triliun), guna mendukung kekuatan "pagar terdepan" di Eropa Timur.
Selain itu, RUU terkait juga memasukkan agenda inisiatif mencegah ancaman Rusia di seluruh dunia, di mana anggarannya mencapai US$ 6,3 miliar, atau setara Rp 9.158 triliun.
Inisiatif ini berupaya meningkatkan jumlah pasukan Amerika Serikatdi Eropa, meyakinkan kembali Sekutu tentang pentingnya kolaborasi komitmen pertahanan, dan yang paling utama adalah menyiapkan "penangkal agresi Rusia".
RUU ini juga akan memberikan wewenang kepada pemerintahan Trump untuk mengesampingkan sanksi pada tahun 2017. Melawan Amerika Lawan Adversaris Melalui Sanksi Act, sebuah RUU yang lulus dengan mayoritas besar dan yang diberi label "cacat" oleh Trump.
Simak video pilihan berikut:
Kemungkinan Mengesampingkan Sanksi
Di lain pihak, para pejabat top AS mengaku sangat prihatin terhadap beberapa negara --seperti India, Vietnam dan Indonesia-- yang semakin kuat menjalin kerja sama pertahanan dengan Negeri Paman Sam, namun juga mempertahankan sejumlah besar peralatan militer buatan Rusia.
Seorang asisten Kongres yang mengaku paham tentang RUU terkait, mengatakan kepada CNN bahwa ada kekhawatiran Moskow berusaha mengeksploitasi sanksi yang diberikan AS, dengan menawarkan penurunan harga pada peralatan militer buatannya.
Ditambahkan oleh sumber terkaitr, bahwa RUU tersebut memungkinkan Presiden Donald Trump untuk mengesampingkan sanksi dalam kondisi tertentu.
Jika RUU tersebut disahkan, maka negara-ngara yang berafiliasi kuat dengan AS, termasuk para anggota NATO, berisiko dikenai sanksi ketika membeli peralatan militer baru dari Rusia.
Namun, Washington memberikan pengecualian sanksi pada pembelian suku cadang kendaraan militer lawas buatan Rusia, seperti helikopter, kendaraan lapis baja, dan pesawat kargo militer.
RUU Pertahanan AS juga menyinggung upaya pencegahan negara-negara sahabat untuk membeli sistem misil S-400 hasil rancangan Rusia, yang disematkan di berbagai kendaraan tempur lansiran negara berjulu Negeri Beruang Merah itu.
Para pejabat AS telah menyatakan keprihatinan bahwa sistem serupa S-400 dapat menimbulkan ancaman, serta berpotensi mencuri data-data intelijen pada aset militer AS dan NATO.
Saat ini, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis tengah ditugaskan untuk mengecek agenda pembelian peralatan militer Rusia oleh Turki.
Disebutkan bahwa RUU terkait telah didesak oleh beberapa anggota Kongres, untuk memblok penerimaan jet siluman F-35, yang diduga mengusung sistem S-400, oleh pemerintah Turki Sesuatu yang telah ditentang sejak lama oleh Mattis.
Advertisement
Menegaskan Pandangan Terhadap China
RUU pertahanan AS juga menggarisbawahi secara tegas tindakan terhadap China, yakni melalui strategi pemerintah yang bertujuan melawan kebijakan Beijing di berbagai bidang, serta memperkuat kemitraan militer dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Taiwan.
Disebutkan dalam RUU tersebut, pemerintah AS "dilarangan menggunakan teknologi berisiko yang diproduksi oleh Huawei atau ZTE, dua perusahaan yang dituding terkait dengan operasi intelijen Partai Komunis China.
Diserukan pula larangan entitas melakukan bisnis dengan pemerintah AS, menggunakan perangkat teknologi buatan Huawei atau ZTE.
Pembantu kongres mengatakan perusahaan yang berbisnis dengan pemerintah federal akan memiliki waktu lima tahun untuk melepaskan diri dari "perusahaan teknologi terlarang" itu.
Tidak ketinggalan isu Semenanjung Korea turut diangkat, yakni berupa pembatasan dana untuk menarik pasukan AS dari Korea Selatan, hingga berada di bawah 22.000 personel.
Saat ini ada sekitar 28.000 pasukan AS di Korea Selatan.